Jakarta, CNBC Indonesia - PT Dwimuria Investama Andalan, entitas investasi milik Grup Djarum, secara resmi menjadi pemegang saham PT Medikaloka Hermina Tbk. (HEAL).
Grup Djarum menyusul Grup Astra yang sudah lebih dulu mengoleksi saham operator jaringan rumah sakit Hermina ini. Mengutip keterbukaan informasi pada Rabu (25/6/2025), manajemen HEAL menyampaikan bahwa saham hasil pembelian kembali (buyback) telah dialihkan ke Dwimuria Investama.
Jumlah saham yang dilepas mencapai 559,19 juta lembar dengan harga pelaksanaan Rp1.875 per saham. Dibandingkan harga saham HEAL pada Kamis hari ini (26/6/2025) di Rp1.420 per saham, Grup Djarum bisa dibilang beli di harga yang lebih mahal 32%.
Adapun, estimasi total dana yang digelontorkan Grup Djarum mencapai Rp1,04 triliun. Transaksi ini dilakukan di luar Bursa Efek Indonesia (BEI), tanpa melibatkan hubungan afiliasi antara dua pihak.
Usai transaksi ini, HEAL menyatakan tidak lagi memiliki saham treasury. Sebagai catatan, Dwimuria Investama juga merupakan pemegang saham mayoritas di PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), serta memiliki 8,35% kepemilikan di PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR).
Sementara itu, Grup Astra telah lebih dahulu mengakumulasi saham HEAL. Data KSEI per (23/6/2025) mencatat bahwa Astra memiliki sekitar 1,11 miliar saham HEAL atau sekitar 7,23% kepemilikan.
Astra mulai masuk pada periode Agustus-September 2022 dengan harga pembelian antara Rp1.335-1.375 per saham, dan sejak itu belum terlihat adanya perubahan besar dalam jumlah kepemilikannya
Kinerja Keuangan Melambat, Margin Jalan di Tempat
Dari sisi kinerja keuangan, pada kuartal I/2025 HEAL mengalami penurunan profitabilitas secara tahunan (yoy).
Pendapatan tercatat sebesar Rp1,69 triliun, melemah dari periode kuartal I/2024 sebesar Rp1,7 triliun. Sementara, beban pokok pendapatan naik dari Rp1,03 triliun menjadi Rp1,11 triliun. Alhasil, laba kotor susut dari Rp582,15 miliar dari Rp668,84 miliar.
Efek penurunan kinerja ini berdampak sampai bottom line, dengan laba bersih susut 34,67% yoy menjadi Rp124,72 miliar.
Adapun, dari sisi margin laba HEAL sempat terkoreksi tajam pada 2022, hal ini dipengaruhi oleh basis yang tinggi pada 2021 akibat lonjakan pasien selama pandemi. Kemudian dari 2022 hingga 2024, margin perusahaan memang menunjukkan pertumbuhan, namun relatif stagnan dan tidak signifikan.
Ekspansi Bisnis HEAL dan Prospek Reformasi Industri Kesehatan
Industri layanan kesehatan Indonesia sedang memasuki fase reformasi besar yang akan dimulai dalam waktu dekat.
Salah satu kebijakan utama yang akan diterapkan adalah sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), yang menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam layanan BPJS Kesehatan. Meskipun implementasinya sempat dijadwalkan pada 30 Juni 2025, kebijakan ini kini diundur hingga akhir tahun, sementara penyesuaian manfaat dan besaran iuran tetap berlaku mulai 1 Juli 2025.
Penundaan ini memberikan ruang tambahan bagi pelaku industri, termasuk HEAL, untuk memperkuat infrastruktur dan menambah kapasitas layanan. Tahun ini, HEAL menargetkan pembangunan dua rumah sakit baru di Bali dan Salatiga, dengan investasi sebesar Rp346 miliar. Kedua fasilitas tersebut masing-masing akan menambah 100 tempat tidur. Sementara itu, rumah sakit yang telah beroperasi juga akan mendapat tambahan 600 tempat tidur.
Secara keseluruhan, HEAL menargetkan peningkatan kapasitas dari 8.252 menjadi 9.000 tempat tidur pada akhir 2025. Dengan ekspansi ini, manajemen memproyeksikan EBITDA mencapai Rp2,2 triliun dan pendapatan sebesar Rp7,8 triliun sepanjang tahun ini. Selain membangun rumah sakit baru, HEAL juga merencanakan penambahan fasilitas dan gedung di lokasi-lokasi eksisting untuk menunjang layanan.
Foto: Ilustrasi Rumah Sakit. (Dok, Freepik)
Ilustrasi Rumah Sakit. (Dok, Freepik)
Di luar KRIS, potensi pertumbuhan HEAL juga diperkuat oleh kebijakan co-payment yang saat ini tengah disosialisasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam skema ini, pemegang polis asuransi akan menanggung sendiri 10% dari total klaim, dengan batas maksimal Rp300 ribu untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap. Meski kebijakan ini menuai pro dan kontra karena menambah beban pasien, co-payment dinilai membawa dampak positif bagi industri rumah sakit. Selain mempercepat arus kas dan menekan keterlambatan pembayaran klaim, co-payment juga mendorong efisiensi penggunaan layanan medis oleh pasien.
Bagi HEAL, kebijakan ini dapat menjadi katalis positif, apalagi perusahaan telah mengadopsi sistem koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (CoB) yang memungkinkan kombinasi manfaat dari BPJS dan asuransi komersial. Dengan potensi arus kas yang lebih stabil dari skema co-payment, serta tarif layanan yang akan lebih mencerminkan biaya aktual lewat KRIS, HEAL memiliki peluang untuk memperbaiki margin laba yang selama beberapa tahun terakhir relatif stagnan. Saat ini, segmen BPJS masih menyumbang porsi terbesar pendapatan HEAL, dengan kontribusi mencapai 51% hingga kuartal I/2025.
Lebih jauh, pemerintah juga sedang menyiapkan reformasi sistem pembayaran layanan kesehatan melalui penerapan Indonesian Diagnosis Related Group (iDRG), yang akan menggantikan sistem tarif INA-CBG. Sistem baru ini diadaptasi dari model Malaysia (MY-DRG), dan dirancang agar lebih sesuai dengan kebutuhan medis serta struktur biaya di Indonesia. Peluncurannya dijadwalkan pada Juli 2025 sebagai bagian dari reformasi menyeluruh di sektor kesehatan.
Dengan seluruh kebijakan ini, 2025 menjadi tahun yang krusial bagi transformasi industri rumah sakit di Indonesia. Perubahan besar-besaran di sisi regulasi, sistem tarif, dan model pembiayaan mendorong pelaku industri untuk melakukan pembenahan, ekspansi, dan investasi berkelanjutan. Dalam konteks inilah, masuknya Grup Djarum dan Grup Astra ke saham HEAL bisa dibaca sebagai bentuk keyakinan terhadap potensi jangka panjang sektor kesehatan di Tanah Air, sekaligus dorongan nyata untuk memperkuat ekosistem layanan kesehatan nasional.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(tsn/tsn)