Menimbang Rasionalitas Ekonomi dan Ekologi

7 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ekspansi tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menciptakan paradoks pembangunan yang memerlukan analisis mendalam. Di satu sisi, berdasarkan data United States Geological Survei (USGS) per Januari 2025, Indonesia memiliki 55 juta ton cadangan logam nikel dunia pada 2024, menjadikan komoditas ini tulang punggung transisi energi global menuju kendaraan listrik.

Di sisi lain, Raja Ampat menyimpan 75% spesies karang dunia dan 1.511 spesies ikan, menjadikannya jantung keanekaragaman hayati laut planet ini. Kontradiksi ini memaksa kita merenungkan kembali paradigma pembangunan berkelanjutan yang selama ini menjadi retorika tanpa implementasi konkret.

Data ekonomi menunjukkan potensi yang menggiurkan. Berdasarkan data INSG, Indonesia menyumbang 61,6% dari total produksi tambang nikel global pada 2024 dan diperkirakan naik menjadi 63,4% pada 2025. Dengan harga nikel yang berfluktuasi, selama lima bulan pertama 2025, harga bertahan di kisaran US$15.500 per ton, jauh di bawah puncaknya pada 2022 yang sempat mencapai US$30.425 per ton.

Namun, perhitungan ini menjadi problematik ketika dikonfrontasikan dengan nilai ekonomi ekosistem laut Raja Ampat yang mencapai ~US$ 1,6-1,9 miliar per tahun dari sektor pariwisata bahari, perikanan berkelanjutan, dan jasa ekosistem. Lebih fundamental lagi, berdasarkan hasil sintesis berbagai studi ekonomi-ekologi yang penulis lakukan, Raja Ampat menyerap 6,4 juta ton CO2 per tahun melalui ekosistem blue carbon-nya, setara dengan nilai ekonomi US$ 384 juta dalam skema perdagangan karbon global.

Dimensi geowisata menambah kompleksitas persoalan. Raja Ampat menarik 15.000-20.000 wisatawan internasional per tahun dengan rata-rata pengeluaran US$ 3.500 per orang (World Bank, 2024), menciptakan multiplier effect yang menghidupi 25.000 penduduk lokal (Phua et al. 2021). Industri wisata selama ini menciptakan 8.500 lapangan kerja langsung dan tidak langsung, dengan 85% pekerja adalah masyarakat adat Papua (Lamers et al. 2022). Kontras dengan industri tambang yang capital intensive, hanya menciptakan 2.000-3.000 lapangan kerja dengan 70% tenaga kerja terampil berasal dari luar daerah. Lebih ironis lagi, operasi tambang berpotensi merusak 15-20% terumbu karang dalam radius 50 kilometer, mengancam mata pencaharian 12.000 nelayan tradisional yang bergantung pada kesehatan ekosistem laut.

Perspektif lingkungan menghadirkan kalkulasi yang lebih dramatis. Tambang nikel menghasilkan 1,4-1,6 ton tailing per ton nikel HPAL, dengan kandungan logam berat yang dapat mencemari perairan, dengan dispersi toksikan 100 - 1.000 km di kolom air. Pengalaman tambang nikel di Sulawesi menunjukkan penurunan kualitas air dan meningkatnya TSS serta logam berat di lokasi operasi. Sementara itu, ekosistem laut Raja Ampat menyediakan spawning ground bagi populasi tuna global dan menjadi nursery area bagi beberapa spesies hiu yang terancam punah (shark sanctuary). Kerusakan ekosistem ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi mengancam ketahanan pangan global mengingat kontribusi Raja Ampat dalam rantai makanan laut internasional.

Analisis cost-benefit jangka panjang menunjukkan ketidakseimbangan yang mengkhawatirkan. Meskipun tambang nikel dapat menghasilkan revenue US$ 15-20 miliar dalam 20 tahun operasi, biaya restorasi lingkungan pasca-tambang diperkirakan mencapai US$ 8-12 miliar, belum termasuk opportunity cost dari hilangnya jasa ekosistem senilai US$ 36 miliar dalam periode yang sama. Perhitungan ini belum memasukkan intangible loss berupa kepunahan spesies endemik dan degradasi warisan budaya maritim masyarakat adat yang tidak dapat dikuantifikasi secara ekonomi.

Konteks geopolitik menambah urgensi persoalan ini. Indonesia, sebagai negara maritim terbesar dunia dengan 17.380 pulau, memiliki tanggung jawab moral menjaga 20% terumbu karang dunia. Komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk mencapai net-zero emission pada 2060 dan target 30% area konservasi laut pada 2030 akan kontradiktif dengan pembukaan tambang di kawasan dengan nilai konservasi tertinggi. Lebih strategis lagi, posisi Indonesia sebagai marine megadiversity hotspot memberikan soft power yang tidak ternilai dalam diplomasi lingkungan global, yang dapat tererosi oleh kegiatan pertambang di Raja Ampat.

Alternatif pembangunan yang lebih bijaksana sebenarnya tersedia. Model blue economy berbasis sustainable marine tourism, mariculture berkelanjutan, dan bioprospecting dapat menghasilkan revenue US$ 3-5 miliar dalam 20 tahun dengan dampak lingkungan minimal. Program payment for ecosystem services dapat mengmonetisasi jasa blue carbon Raja Ampat hingga US$ 50-75 juta per tahun dalam mekanisme REDD+ Blue. Pengembangan marine biotechnology berbasis keanekaragaman hayati laut dapat menciptakan added value US$ 1-2 miliar melalui pharmaceutical dan nutraceutical products.

Keputusan mengenai tambang nikel Raja Ampat bukan sekadar pilihan ekonomi, melainkan ujian terhadap komitmen Indonesia pada pembangunan berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa preservasi Raja Ampat sebagai kawasan konservasi menghasilkan net present value yang lebih tinggi dibandingkan eksploitasi tambang, dengan risiko lingkungan dan sosial yang jauh lebih rendah. Dirasa perlu untuk menghitung ulang paradigma pembangunan dengan memasukkan seluruh eksternalitas lingkungan dan sosial, bukan hanya keuntungan jangka pendek sektor tambang.

Indonesia memiliki 108.000 km garis pantai dengan potensi nikel tersebar di berbagai lokasi yang secara ekologis kurang sensitif. Konsentrasi eksploitasi nikel di kawasan non-endemik seperti Sulawesi Tenggara atau Maluku Utara dapat memberikan hasil ekonomi serupa tanpa mengorbankan global commons berupa keanekaragaman hayati laut. Pilihan ini membutuhkan political will yang kuat dan perspektif jangka panjang yang melampaui siklus politik lima tahunan.

Pada akhirnya, Raja Ampat bukan sekadar aset ekonomi Indonesia, melainkan warisan umat manusia yang tidak dapat digantikan. Keputusan untuk mempertahankan atau mengorbankan kawasan ini akan menjadi indikator kredibilitas Indonesia dalam komitmen terhadap sustainable development goals dan menentukan legacy generasi saat ini bagi masa depan planet. Pilihan bijak menuntut keberanian untuk mengatakan tidak pada keuntungan jangka pendek demi keberlanjutan jangka panjang.


(dpu/dpu)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |