Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di tengah ketidakpastian geopolitik global dan harga energi yang fluktuatif, Indonesia memiliki satu aset strategis yang memberi keunggulan dibanding banyak negara lain: kelapa sawit. Dari komoditas inilah Indonesia membangun salah satu tonggak ketahanan energinya, yaitu biodiesel berbasis CPO.
Namun, seperti dua sisi mata uang, kekuatan ini juga membawa tantangan fiskal jika tidak dikelola dengan cermat. Di sinilah perlunya strategi blending yang adaptif-formulasi pencampuran biodiesel yang dinamis, bukan statis-untuk menjaga keseimbangan antara energi, fiskal, dan neraca dagang.
Saat harga minyak dunia meroket, harga CPO ikut naik. Hal ini mendorong biaya produksi biodiesel menjadi lebih mahal, sementara harga jual biodiesel di dalam negeri tetap ditetapkan di bawah harga keekonomian demi menjaga keterjangkauan masyarakat.
Selisih ini ditutup oleh negara melalui skema subsidi. Maka ketika minyak dunia mahal, beban subsidi pun membengkak. Sebaliknya, saat harga minyak dunia turun, harga CPO ikut turun dan biaya produksi biodiesel lebih rendah. Ini mengurangi kebutuhan subsidi. Fluktuasi yang tampak sederhana ini sejatinya berdampak besar pada APBN.
Indonesia memiliki kapasitas produksi CPO yang sangat besar. Pada tahun 2023, total produksi kelapa sawit Indonesia mencapai sekitar 51 juta ton, menjadikannya produsen terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, sebagian besar masih ditujukan untuk ekspor dalam bentuk bahan mentah atau turunan olahan pangan.
Namun sekitar 18%-19% dari total produksi CPO kini sudah dialokasikan untuk keperluan energi, terutama program biodiesel. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia punya ruang besar untuk memperluas kontribusi sawit bagi ketahanan energi, sekaligus mendongkrak nilai tambah di dalam negeri.
Seiring dengan mandatori B35 yang diberlakukan secara nasional sejak 2023, kebutuhan biodiesel domestik meningkat signifikan. Dengan konsumsi solar nasional berkisar 33 juta kiloliter per tahun, implementasi B35 berarti kebutuhan biodiesel sekitar 11,5 juta kiloliter hingga 12 juta kiloliter.
Jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan rencana pemerintah mendorong penerapan B40 dalam waktu dekat, dan bahkan mengkaji implementasi B50 sebagai target jangka menengah. Bila B50 diberlakukan, kebutuhan biodiesel Indonesia akan melampaui 16 juta kiloliter per tahun, yang berarti penyerapan CPO untuk energi bisa mencapai lebih dari 25% dari total produksi nasional.
Namun, lonjakan kebutuhan ini juga berarti lonjakan potensi subsidi. Jika harga CPO dan minyak dunia berada dalam tren naik bersamaan, maka biaya gap antara biodiesel dan solar menjadi sangat besar.
Dalam kondisi seperti itu, beban fiskal yang ditanggung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa melampaui kemampuan kas, apalagi bila pungutan ekspor CPO dibatasi atau mengalami hambatan akibat tekanan global. Ini menjadi bukti bahwa strategi blending yang statis-misalnya B35 sepanjang tahun-tidak lagi relevan di tengah kondisi harga energi global yang sangat dinamis.
Pemerintah perlu segera merumuskan pendekatan pencampuran biodiesel yang fleksibel. Artinya, kadar blending tidak harus bersifat tetap setiap tahun, melainkan bisa disesuaikan berdasarkan parameter harga minyak dunia, harga CPO, serta kemampuan fiskal negara.
Saat harga minyak dunia berada di atas US$90 per barel dan harga CPO mendekati RM 4.500 per ton, maka penyesuaian blending ke B30 atau B25 bisa menjadi langkah bijak untuk menekan subsidi. Namun saat harga minyak jatuh di bawah US$70 dan harga CPO stabil, maka peningkatan blending ke B40 atau bahkan B50 bisa dilakukan untuk menjaga serapan sawit domestik dan mendorong nilai tambah dalam negeri.
Fleksibilitas semacam ini bukan berarti pemerintah melemahkan komitmen terhadap energi bersih, melainkan menempatkan kebijakan energi dalam kerangka realisme fiskal dan ekonomi nasional. Skema blending yang adaptif juga akan membantu menjaga neraca perdagangan migas yang selama ini menjadi penyumbang defisit utama.
Dalam konteks ketahanan energi, biodiesel tetap memegang peran penting karena menyubstitusi impor solar. Tetapi dalam konteks ketahanan fiskal, pengelolaannya harus tepat dan efisien
Selain itu, aspek kesesuaian teknis dalam implementasi bahan bakar berbasis CPO juga perlu menjadi perhatian serius. Salah satu hal krusial yang harus dipertimbangkan adalah kandungan monogliserida dalam bahan bakar tersebut, yang dapat menimbulkan dampak signifikan terhadap kinerja mesin dan sistem bahan bakar secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa standar teknis dan spesifikasi bahan bakar yang digunakan telah selaras guna mendukung pemanfaatan yang aman dan efisien.
BPDP sebagai lembaga pengelola subsidi biodiesel juga perlu beradaptasi dengan pendekatan ini. Manajemen kas BPDP seharusnya diselaraskan dengan kalender harga global dan kondisi fiskal nasional.
Ketika harga CPO terlalu tinggi sementara dana pungutan ekspor menurun, penyesuaian blending harus dilakukan untuk menjaga keberlanjutan. Selain itu, instrumen lindung nilai (hedging) terhadap harga CPO dan minyak dunia perlu mulai dipertimbangkan untuk meminimalkan risiko volatilitas yang tidak terduga.
Dampak kebijakan ini juga menyentuh langsung kehidupan jutaan petani sawit. Kebijakan mandatori biodiesel telah menciptakan permintaan domestik yang stabil, menstabilkan harga tandan buah segar (TBS) dan memperkuat posisi tawar petani.
Namun, jika blending diturunkan secara drastis tanpa kompensasi, maka pasar akan kelebihan pasokan dan harga TBS bisa tertekan. Maka fleksibilitas blending harus dibarengi dengan instrumen pengaman seperti price floor atau kontrak jangka panjang antara produsen dan pembeli industri.
Dalam jangka panjang, pemerintah juga perlu melihat bahwa biodiesel hanyalah pintu awal dari masa depan bioenergi Indonesia. Teknologi biohidrokarbon (green diesel), bioetanol dari limbah pertanian, bahkan bioavtur, mulai memasuki tahap pengembangan di negara lain.
Indonesia tidak boleh tertinggal. Namun hingga saat itu tiba, biodiesel dari CPO akan tetap menjadi tulang punggung transisi energi terbarukan Indonesia-dan karenanya harus dikelola secara strategis dan adaptif.
Dengan potensi produksi CPO nasional yang besar, proyeksi blending menuju B50, dan kebutuhan menjaga APBN tetap sehat, kebijakan energi kita tidak bisa lagi hitam-putih. Kita perlu kecerdasan kebijakan: menjaga pencampuran biodiesel dalam koridor keberlanjutan fiskal dan ekonomi.
Pemerintah, BPDP, industri, dan petani harus berada dalam satu tarikan napas kebijakan yang lentur tapi terarah. Indonesia sudah menjadi pemimpin biodiesel dunia, kini saatnya memimpin dalam cara mengelola biodiesel yang adaptif, efisien, dan berdaulat secara ekonomi.
(miq/miq)