Jakarta, CNBC Indonesia - PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) membeberkan dampak yang terjadi pada ekspor aluminium dari Indonesia ke Amerika Serikat (AS) setelah Presiden AS Donald Trump meningkatkan tarif impor aluminium dua kali lipat menjadi 50% sejak awal Juni 2025.
Direktur Utama Inalum Melati Sarnita mengakui bahwa terjadi pelambatan pada ekspor aluminium ke AS. Adapun ekspor aluminium Inalum ke AS biasanya mencapai 30 ribu ton per tahun.
Namun, lanjutnya, bila AS mengenakan kenaikan tarif impor aluminium tersebut, maka menurutnya kenaikan tarif impor ini akan dilimpahkan kepada konsumen di AS itu sendiri. Pasalnya, perusahaan tidak akan menanggung beban kenaikan tarif impor tersebut. Pada akhirnya, konsumen aluminium di AS sendiri lah yang menanggung beban lonjakan tarif impor ini.
"Jadi, gini, ya. Yang lama, 30 ribu (ton), itu, kan, nggak pake tarif (kenaikan tarif impor baru). Yang sekarang, itu agak melambat. Tapi, kalaupun melambat, it doesn't mean harganya turun, kan. Yang bayar tarifnya siapa, sih, sebenarnya? Kita yang jual, apa yang beli? Yang beli kan," jelasnya di sela acara Economic Update CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Jumat (20/6/2025).
"Karena, kan, misalnya, kayak saya, saya, kan, nggak akan mau jual ke Amerika, tapi saya rugi, nggak mau, dong. Pasti saya akan keep sama. Harganya akan keep sama, kan. Secara korporasi, kita pasti, ya, terserah, harga saya segini. Ya, kalau nyampe di Amerika, yang beli di-charge, ya, dia yang bayar," tambahnya.
Namun demikian, Melati tidak menampik bahwa imbas dari lonjakan tarif impor ini, permintaan aluminium dari AS akan menurun.
"Pasti berkurang. Karena, gini, barang saya, itu, kan, sebenarnya COGS-nya, dia, kan, materialnya, dia, kan. Kalau itu mahal, profitability-nya turun atau naik? Kan, ada dua cara, kan. Dia naikin harga jual. Harga jual yang nanggung siapa? Jadi, efeknya, makanya, di Amerika jadi ribut, kan. Karena mereka yang nanggung. Bukan kita yang nanggung," paparnya.
Melati juga mewaspadai adanya potensi peralihan sumber pasokan aluminium AS. Meskipun ada potensi itu, dia menegaskan produk aluminium yang dijual oleh pihaknya memiliki nilai jual tinggi karena diproduksi dengan sumber energi bersih dan menghasilkan 'green aluminium'.
"Pasti dia nyari pasar pengganti. Nah, pasti dia nyari pasar-pasar lain, yang mungkin pasar kita, atau pasar yang lain. Makanya, harapan kita, identitas kita sebagai green aluminium, itu kita bisa pakai, kita berkuat. Sehingga, kan, orang-orang pakai barang kita, itu, ada efek lain. Dia bisa masuk ke green-green industry," imbuhnya.
"Misalnya, kayak mobil listrik BMW atau Mercedes, maunya, kan, barangnya produk green. Kayak gitu-gitu, kan, dia bisa masuk. Jadi, kan, itu spesifik. Yang lain belum tentu dia bisa. Gak semua, I think only like 20% of the player yang actually pakai hydro, kan. Gak semuanya," tandasnya.
Tarif Impor Aluminium AS
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menghantam perdagangan. Dalam pidato populis di hadapan buruh pabrik baja AS, Trump mengumumkan bahwa tarif impor baja dan aluminium akan digandakan.
Tak tanggung-tanggung, tarif impor baja dan aluminium akan naik menjadi 50% dari sebelumnya 25%. Kebijakan ini berlaku 4 Juni 2025.
"Kita naikkan tarif baja dari 25% menjadi 50%," seru Trump lantang di fasilitas US Steel, Pennsylvania, negara bagian yang menjadi kunci kemenangannya di Pilpres 2024, dikutip AFP, Senin (2/6/2025).
"Tak ada yang bisa menghindar dari ini!," tegasnya.
Tak lama setelah pidato tersebut, Trump pun mempertegas lewat unggahan di Truth Social. Ia mengatakan kebijakan serupa juga akan berlaku untuk aluminium.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Proyek Hilirisasi Jalan, Kinerja Inalum Bakal Melesat 48%