AS Ikut Perang Israel-Iran, Siap-Siap Harga Minyak Bisa Mendidih

4 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia — Harga minyak diperkirakan akan naik sebesar US$3 hingga US$5 per barel, setelah serangan udara AS yang menargetkan fasilitas nuklir Iran. 

Brent ditutup pada harga US$ 77,01 per barel pada hari Jumat, dan West Texas Intermediate (WTI) milik AS pada US$ 73,84.

Secara keseluruhan, meskipun harga minyak diperkirakan akan naik, dampak jangka panjang akan bergantung pada respons Iran dan apakah konflik ini menyebabkan gangguan pasokan energi yang signifikan.

"Lonjakan harga minyak diperkirakan akan terjadi, bahkan tanpa adanya pembalasan langsung, pasar kemungkinan akan memasukkan premi risiko geopolitik yang lebih tinggi ke dalam faktor harga," kata Jorge Leon, kepala analisis geopolitik di Rystad dan mantan pejabat OPEC, mengutip Reuters, Minggu (22/6/2025).

Terpisah, analis di Saxo Bank Ole Hansen mengatakan harga minyak mentah bisa dibuka naik US$ 4 hingga US$ 5, dengan kemungkinan adanya aksi lepas posisi beli (long position) oleh sebagian investor.

Harga minyak mentah sebelumnya ditutup melemah pada hari Jumat setelah Amerika Serikat memberlakukan sanksi baru terkait Iran, termasuk terhadap dua entitas yang berbasis di Hong Kong, serta sanksi terkait kontra-terorisme, menurut pemberitahuan di situs Departemen Keuangan AS.

Adapun sejak konflik Israel dan Iran dimulai pada 13 Juni, dengan Israel menyerang fasilitas nuklir Iran dan rudal Iran menghantam gedung-gedung di Tel Aviv-harga Brent telah naik 11%, sedangkan WTI meningkat sekitar 10%.

Sejauh ini kondisi pasokan yang stabil dan ketersediaan kapasitas produksi cadangan di antara anggota OPEC telah membatasi kenaikan harga minyak. Menurut analis di UBS Giovanni Staunovo risiko biasanya akan memudar jika tidak terjadi gangguan pasokan.

"Arah pergerakan harga minyak selanjutnya akan bergantung pada apakah terjadi gangguan pasokan, yang kemungkinan besar akan menyebabkan harga naik, atau jika konflik mereda, yang akan menyebabkan premi risiko berkurang," ujarnya.

Seorang anggota parlemen senior Iran mengatakan pada 19 Juni bahwa negara tersebut dapat menutup Selat Hormuz sebagai cara untuk membalas musuh-musuhnya, meskipun anggota parlemen lainnya menyatakan bahwa hal itu hanya akan terjadi jika objek vital Iran berada dalam bahaya.

Selat Hormuz merupakan jalur pengiriman dari seperlima konsumsi minyak dunia.

SEB menyatakan bahwa penutupan Selat Hormuz atau meluasnya konflik ke produsen regional lainnya akan secara signifikan meningkatkan harga minyak. Akan tetapi mereka masih menganggap skenario ini sebagai risiko ekstrem, bukan skenario dasar, mengingat ketergantungan China pada minyak mentah dari Teluk.

Pun bila terjadi penutupan Selat Hormuz, Direktur Analis Minyak dan Transisi Energi ICIS menilai Iran tidak mungkin melakukan hal itu dalam waktu yang lama. 

"Sebagian besar ekspor minyak Iran ke China melewati selat ini, dan Trump kemungkinan besar tidak akan mentolerir lonjakan harga minyak yang tak terhindarkan terlalu lama, tekanan diplomatik dari dua ekonomi terbesar dunia juga akan sangat besar," ujarnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya Presiden AS, Donald Trump, mengklaim telah menghancurkan situs nuklir utama Iran, yang dilakukan bersama dengan Israel. Iran, sebagai produsen minyak terbesar ketiga OPEC, berjanji akan membela diri.


(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tarif Trump Naik, Harga Minyak Stabil di Tengah Ancaman Perang Dagang

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |