Tersungkur! Manufaktur RI Terburuk di ASEAN, Kalah Jauh dari Malaysia

3 days ago 17

Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas manufaktur di Asia masih belum menunjukkan pemulihan yang fantastis, bahkan banyak yang masih berada di zona kontraksi atau di bawah level 50. Namun, banyak negara menunjukkan perbaikan tingkat aktivitas manudaktur.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global untuk periode Mei 2025 menunjukkan masih banyak negara yang mengalami kontraksi.

Di Asia sendiri berdasarkan pantauan CNBC Indonesia Research, hanya India dan Filipina yang punya PMI Manufaktur berada di atas 50 (ekspansif) dengan besaran masing-masing 57,6 dan 50,1.

Sementara negara-negara lainnya, seperti Vietnam, Singapura, hingga Jepang berada di zona kontraksi dengan besaran masing-masing 49,8, 49,7, dan 49,4.

Begitu pula dengan Indonesia yang tercatat selama dua bulan beruntun berada di zona kontraksi yakni 46,7 (April) dan 47,4 (Mei).

Lemahnya permintaan pasar dan lebih sedikit permintaan barang sebagai faktor utama dari jebloknya aktivitas manufaktur. Permintaan dari luar negeri juga kembali melemah, meskipun dengan laju yang lebih lambat, terutama ekspor ke Amerika Serikat.

Kondisi permintaan yang lemah ini turut mendorong penurunan lanjutan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Meskipun masih dalam kategori solid, laju penurunan produksi lebih lambat dibanding bulan sebelumnya.

"Ekonomi manufaktur Indonesia mengalami kontraksi di tengah penurunan pesanan baru paling tajam dalam hampir empat tahun yang turut mendorong penurunan volume produksi secara signifikan. Ekspor juga terus melemah, sementara pelaku usaha menyesuaikan tingkat pembelian dan persediaan sebagai respons terhadap lemahnya permintaan," tutur Usamah Bhatti, Ekonom di S&P Global Market Intelligence, di website resmi.

Selain Indonesia, China juga berada di zona kontraksi yakni dari 50,4 (April) menjadi 48,3 (Mei).

Hal ini tentu perlu diwaspadai karena kontraksi PMI manufaktur China dapat memberikan dampak besar bagi ekonomi Indonesia, terutama karena China adalah mitra dagang utama. Ketika aktivitas manufaktur di China melemah, permintaan terhadap barang ekspor Indonesia, seperti batu bara, minyak sawit, dan produk manufaktur, juga berkurang. Hal ini berpotensi menekan pendapatan ekspor dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain itu, perlambatan manufaktur China sering kali dikaitkan dengan ketidakpastian ekonomi global, termasuk dampak dari perang dagang dan kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Ketegangan perdagangan ini dapat memperburuk kondisi ekspor Indonesia, karena banyak perusahaan yang menunda pesanan akibat ketidakpastian pasar.

Dari sisi investasi, melemahnya sektor manufaktur China bisa mengurangi arus modal ke Indonesia, karena investor cenderung lebih berhati-hati dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi. Jika tren ini berlanjut, sektor manufaktur Indonesia juga bisa mengalami tekanan lebih besar, terutama karena rantai pasok global yang terhubung dengan China mengalami gangguan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |