Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak dunia melonjak hampir 3% pada perdagangan kemarin (2/6/2025) waktu Indonesia, dan kembali menguat tipis pada perdagangan Selasa (3/6/2025), seiring berlanjutnya kekhawatiran pasar terhadap gangguan pasokan global dan ketidakpastian geopolitik yang masih membayangi.
Mengacu pada data Refinitiv, harga minyak Brent kontrak Agustus 2025 ditutup naik US$0,52 atau 0,80% ke level US$65,15 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kontrak Juli 2025 juga menguat US$0,58 atau 0,93% menjadi US$63,10 per barel.
Lonjakan harga ini sekaligus memupus penurunan pada akhir pekan lalu. Dalam dua hari terakhir, harga Brent telah rebound hampir 2,2%, didorong kombinasi fundamental ketat dan sentimen geopolitik yang kian memanas.
Melansir dari Reuters, pada akhir pekan, aliansi produsen OPEC+ memutuskan untuk tetap menaikkan produksi sebesar 411.000 barel per hari (bph) pada Juli mendatang, sesuai jadwal yang sudah diumumkan sebelumnya. Meski begitu, pelaku pasar sempat memperkirakan OPEC+ akan mempercepat laju kenaikan produksi sebagai respons terhadap lonjakan permintaan musiman di musim panas.
Keputusan untuk tidak mempercepat rencana membuat pasar "terkejut ke arah atas", menurut Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group. "Investor mengira pasokan akan bertambah lebih besar, tapi ternyata tidak," ujarnya.
Goldman Sachs memperkirakan OPEC+ akan tetap menaikkan kuota sebesar 410.000 bph hingga Agustus, dengan alasan fundamental pasar yang tetap ketat, didukung aktivitas ekonomi global dan permintaan energi yang naik selama musim panas.
Selain keputusan OPEC+, pasar juga dikejutkan oleh gangguan produksi dari Kanada. Kebakaran hutan di Alberta telah memaksa dua operator pasir minyak termal untuk menghentikan operasi dan mengevakuasi pekerja dari wilayah Fort McMurray, memotong sekitar 7% dari output nasional Kanada, berdasarkan estimasi Reuters.
Di sisi lain, pelemahan indeks dolar AS (DXY) turut mempermanis sentimen. Kekhawatiran bahwa ancaman tarif baru dari mantan Presiden AS Donald Trump akan memperlambat pertumbuhan ekonomi membuat greenback melemah terhadap mata uang utama lainnya. Dolar yang lebih lemah membuat komoditas berdenominasi dolar, seperti minyak, menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain.
Geopolitik juga kembali ke radar pasar. Serangan drone Ukraina terhadap fasilitas Rusia serta ketegangan dalam pembicaraan nuklir Iran-AS membuat pelaku pasar cenderung mencari aset fisik seperti energi sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian.
Meski cukup tajam, harga Brent masih tertinggal dibandingkan posisi awal Mei yang sempat menyentuh US$67. Harga sempat terseret turun karena ekspektasi pelonggaran pasokan. Kini, jika gangguan pasokan Kanada berlanjut dan permintaan global tetap kuat, potensi penguatan lanjutan masih terbuka, terutama menjelang keputusan kuota OPEC+ berikutnya pada 6 Juli.
CNBC Indonesia
(emb/emb)
Saksikan video di bawah ini: