RI Banjir Pengangguran, Cari Kerja Makin "Berdarah-darah"

1 day ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia- Bahu saling bergesekan, peluh mengalir bersama harap. Di tengah panas Jakarta , ribuan pencari kerja dari generasi termuda Indonesia Gen Z menyemut di job fair, berharap satu hal, kesempatan.

Namun yang datang bukan hanya rekrutmen, melainkan juga jebakan. Penipuan berkedok lowongan kerja palsu kini mengintai di tiap notifikasi email dan WhatsApp, menunggu saat lengah dari mereka yang mulai putus asa.

Seperti kisah Andi dan Yudha, dua anak muda yang ditemui CNBC dalam job fair, mereka nyaris jadi korban. Rp800 ribu, Rp500 ribu, bahkan hanya Rp20 ribu pun dipatok sebagai "biaya administrasi" semua berujung nihil, yang tersisa hanya rasa dibodohi

Di balik kisah individual ini, tersimpan ironi kolektif yang lebih besar, bahwa ijazah tinggi tak lagi jadi jaminan masa depan. Bahkan, bisa jadi beban ekspektasi yang tak selaras dengan realita industri.

Sarjana Banyak, Kerja Tak Dapat

Data BPS menunjukkan, hingga Februari 2025, ada 842.378 penganggur bergelar sarjana naik dari 787.973 di tahun sebelumnya. Sementara itu, lulusan SMA menyumbang angka tertinggi: 2,29 juta penganggur, disusul lulusan SMK dan diploma. Secara total, 7,28 juta orang di Indonesia menganggur, atau setara 4,76% dari total angkatan kerja.

Peningkatan ini kontras dengan pertumbuhan tenaga kerja aktif yang sebenarnya positif sebanyak 145,77 juta orang bekerja, naik 3,59 juta dibanding tahun lalu. Tapi lonjakan ini banyak ditopang oleh sektor informal: hanya 59,4% pekerja yang berada di sektor formal, sisanya harus berdamai dengan status "pekerja bebas", "buruh lepas", atau bahkan "pekerja tak

Mengapa sarjana justru jadi bagian besar dari pengangguran?

Fenomena "aspirational mismatch" dan "reservation wage gap" menjadi penjelas. Banyak lulusan perguruan tinggi enggan masuk ke sektor informal atau pekerjaan teknis karena merasa tak sepadan dengan gelarnya. Mereka menunggu pekerjaan "ideal", yang kerap tak kunjung datang.

Sementara itu, lulusan diploma justru lebih stabil. Dari 305 ribu penganggur pada 2020, turun menjadi 170 ribu pada 2024. Pendidikan vokasi yang aplikatif dan siap kerja menjadi nilai lebih, terutama di mata industri yang mencari tenaga produktif, bukan simbol akademik.

Ironisnya, universitas di Indonesia masih belum adaptif. Koneksi kampus dengan dunia kerja lemah, kurikulum lamban bertransformasi, dan budaya kewirausahaan belum tumbuh kuat. McKinsey Global Institute mencatat bahwa hanya 40% warga usia 25-34 tahun yang menamatkan pendidikan menengah atas, dan hanya 400 peneliti per 1 juta penduduk jauh dari standar negara maju.

Profil pengangguran pun semakin kompleks:

  • Perempuan kini lebih aktif: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan naik menjadi 56,70%, tertinggi dalam lima tahun terakhir.

  • Lulusan perguruan tinggi mendominasi pengangguran terdidik, diikuti lulusan SMA.

  • Wilayah perkotaan menyumbang lebih banyak pengangguran dibanding pedesaan (5,73% vs 3,33%).

Lapangan kerja paling padat serapan? Masih dikuasai sektor pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan-bukan sektor digital, bukan pula green energy, seperti yang digembar gemborkan.


CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |