Ramalan Bank Dunia Bikin Ngeri, RI Bisa Jadi Korban

5 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia komoditas tengah menapaki jalan sunyi. Setelah sempat bergemuruh pasca-pandemi dan gegap gempita karena perang Rusia-Ukraina, kini harga-harga kembali ke pangkuan masa lalu. Laporan terbaru World Bank menyatakan bahwa harga komoditas global sedang bergerak mundur ke level yang terakhir terlihat pada era pra-Covid, bahkan menyentuh rata-rata riil 2015- 2019.

Seolah waktu menarik kembali roda ekonomi global ke dekade silam. Dalam enam tahun terakhir, harga komoditas menggila pada 2022. Bila dibandingkan 2022, rata-rata harga minyak brent sudah jatuh 27%, batu bara ambruk 69%, minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil/ CPO turun 12,3%, dan gas alam Eropa jeblok 67,4%.

Dalam laporan Commodity Markets Outlook edisi April 2025, Bank Dunia memproyeksikan harga komoditas akan turun 12% pada 2025 dan menyusut lagi 5% di 2026. Sebuah kemunduran yang tak sekadar soal harga, tetapi juga tentang perlambatan ekonomi global, tekanan geopolitik, dan transisi struktural dalam konsumsi energi dan pangan.

Harga energi menjadi yang paling terpukul. Brent crude, si raja komoditas, diperkirakan hanya akan berada di US$64 per barel pada 2025 turun drastis dari estimasi US$81 di tahun ini. Tahun 2026 bahkan akan lebih sunyi, dengan harga Brent turun ke US$60.

Pasokan yang melimpah bertemu dengan permintaan yang lunglai, terutama akibat agresifnya adopsi kendaraan listrik di China, pasar otomotif terbesar dunia. Minyak mentah WTI juga tak mampu melawan arus, terkoreksi tajam ke US$63.1 pada April 2025, turun hampir 7% dalam sebulan terakhir.

Batu bara pun tak luput dari tekanan. Harga batu bara Australia kini berada di kisaran US$98.6 per metrik ton pada April 2025, turun lebih dari 5% dari bulan sebelumnya. Batu bara Afrika Selatan menyusul dengan penurunan 2,4%, menjadi US$95.6 per ton. Tren ini menandakan mulai melambatnya pertumbuhan konsumsi energi fosil, bahkan di negara berkembang, karena peningkatan investasi pada sumber energi terbarukan dan efisiensi energi.

Kondisi ini menciptakan dilema ganda di satu sisi, harga yang jatuh bisa meredam inflasi global terutama setelah guncangan energi pada 2022 yang menyumbang lebih dari dua poin terhadap inflasi dunia. Namun di sisi lain, volatilitas harga yang tinggi dan tren penurunan bisa mengguncang stabilitas fiskal negara-negara berkembang, khususnya yang menggantungkan pendapatan pada ekspor komoditas.

Indermit Gill, Kepala Ekonom Bank Dunia, mengingatkan bahwa kini dunia menghadapi "volatilitas harga tertinggi dalam 50 tahun terakhir", dan bahwa kombinasi harga rendah dan gejolak pasar bisa menjadi bencana senyap bagi banyak negara berkembang.

Ia menyerukan reformasi mendasar liberalisasi perdagangan, pengetatan fiskal, dan penciptaan iklim investasi yang ramah swasta sebagai kunci bertahan di tengah badai harga.

Di sektor pangan, tekanan tampak lebih moderat namun tetap menyimpan kekhawatiran. Harga makanan global diprediksi turun 7% pada 2025 dan 1% lagi di 2026. Namun turunnya harga tidak serta merta menyelesaikan persoalan ketahanan pangan. Konflik bersenjata yang memburuk, pengurangan bantuan kemanusiaan, dan gangguan distribusi membuat banyak negara tetap berada di ambang krisis.

Sementara itu, logam mulia menunjukkan wajah berbeda. Di tengah ketidakpastian global, harga emas justru diprediksi menembus rekor baru pada 2025. Permintaan terhadap aset aman melonjak seiring meningkatnya risiko geopolitik dan kebijakan proteksionis global. Namun harga emas diperkirakan akan stabil pada 2026, mencerminkan bahwa lonjakan tersebut lebih karena sentimen ketimbang fundamental pasokan-permintaan.

Dampak Buat Indonesia?

Komoditas menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia. Batu bara can CPO bahkan menyumbang ekspor hingga 30%. Menurunnya harga komoditas ini tentu saja menjadi kekhawatiran. 
Melandainya harga komoditas tidak hanya menekan nilai ekspor tetapi juga akan mengurangi pendapatan negara hingga jutaan warga yang menggantungkan hidupnya dari komoditas.

Ekspor Indonesia terus mencetak rekor demi rekor pada 2022 karena lonjakan harga komoditas. Seiring harganya yang terus turun dan menjadi normal, ekspor juga melandai.

Sebagai perbandingan, nilai ekspor pada 2022 menembus US$ 291,9 miliar dan turun menjadi US$ 264,7 miliar pada 2024.

CNBC INDONESIA RESERCH
research@cnbcindonesia.com

(emb/emb)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |