Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa Indonesia memegang peranan yang cukup penting dalam rantai pasok nikel global. Hal tersebut tidak terlepas dari ketersediaan cadangan nikel yang cukup melimpah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Tri Winarno menjelaskan bahwa saat ini pasokan nikel dari RI diproyeksikan mencapai 65% dari pasokan nikel global. Adapun, nikel yang berasal dari Indonesia tersebut mayoritas digunakan untuk memproduksi stainless steel.
"Nah untuk yang nikel ini Pak Pimpinan, memang sekarang ini hampir 65% nikel dunia itu disuplai oleh Indonesia dan sekitar 65% juga nikel ini menjadi stainless steel," ujar Tri dalam RDP bersama Komisi XII DPR RI, Selasa (6/5/2025).
Oleh sebab itu, ia pun menduga penurunan harga nikel yang terjadi saat ini lantaran industri stainless steel tengah landai. Apalagi, market nikel RI untuk stainless steel kebanyakan dari China.
"Nah mungkin bisa jadi, bisa jadi saya belum begitu ini, bisa jadi karena pasar market kita untuk stainless steel atau untuk nikel itu kan kebanyakan ke China ya. Dengan industri yang sekarang ya agak menurun bisa jadi ini akibat itu," ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa membludaknya pasokan nikel dari Indonesia telah berdampak pada jatuhnya harga nikel di pasar global.
Semula, Meidy menilai bahwa periode 2022 merupakan masa kejayaan industri nikel dengan harga yang relatif tinggi. Namun demikian, sejak 2023 hingga 2024 harga nikel justru terus mengalami penurunan.
"Dalam perhitungan harga dari 2020 hingga 2025, kita melihat bahwa tahun 2022 merupakan masa kejayaan industri nikel. Namun, sejak 2023 hingga 2024, harga terus mengalami fluktuasi yang berdampak pada penerimaan royalti," kata Meidy dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, Senin (17/3/2025).
Menurut Meidy, harga referensi domestik (HPM) juga berbeda 40-50% dibandingkan harga internasional. Sejak 2017-2020, Asosiasi telah berjuang agar harga berbasis HPM diakui dalam regulasi. Meski HPM telah ditetapkan, transaksi di pasar masih mengalami kendala.
Untuk mengatasi persoalan ini, APNI bersama dengan berbagai kementerian terkait terus mendorong penerapan sistem transaksi berbasis Free on Board (FOB).
"Dengan Kemenko Marves waktu itu. Kemenko Marves udah selesai ya. Kemudian juga ada bagaimana melakukan transaksi berbasis FOB. Apa? Karena itu berpengaruh kepada penerimaan negara dari sisi royalti," katanya.
Di sisi lain, Meidy menyampaikan bahwa sejak 2022, pihaknya telah mengingatkan tentang kapasitas produksi nikel yang berlebih. Namun, alih-alih melakukan pembatasan, pemerintah justru memberikan persetujuan terhadap smelter baru.
"Luar biasa loh smelter ini. Gila beneran. Nambah terus-nambah terus. Padahal tahun 2022 APNI sudah berteriak. Pak moratorium pak. Tapi masih aja sampai sekarang," katanya.
(wia)
Saksikan video di bawah ini:
Video:Sumbang 23% Total Investasi RI Disumbang Dari Hilirisasi Tambang
Next Article Siap-Siap, Tarif Royalti Bijih Nikel Bakal Naik Jadi 14-19%!