Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi geopolitik antara Iran dan Israel terus memanas. Kedua negara terus terlibat aksi saling serang dengan melibatkan rudal dan pesawat tanpa awak. Memanasnya geopolitik Timur Tengah bisa memicu ketidakpastian di pasar keuangan hingga lonjakan inflasi.
Rentetan serangan ini terjadi pada Jumat (14/6/2025) dini hari saat Israel melancarkan sejumlah serangan ke berbagai fasilitas nuklir di wilayah Iran, termasuk Ibu Kota Teheran.
Serangan ini menewaskan sejumlah petinggi militer dan ahli nuklir Negeri Persia, termasuk penghubung komunikasi antara Iran dan Amerika Serikat (AS), Ali Shamkhani.
Iran pun membalas dengan menerjunkan sejumlah rudal ke Negeri Zionis, termasuk ke Ibu Kota Tel Aviv.
Israel kembali meluncurkan serangan bersasaran ke wilayah Yaman, Sabtu (14/6/2025) malam waktu setempat. Serbuan diluncurkan saat Negeri Yahudi itu berada dalam aksi saling serang dengan Iran.
Mengutip Times of Israel, serangan itu dikonfirmasi Juru bicara Militer Israel Brigjen Effie Defrin dalam sebuah pengarahan, Minggu (15/6/2025). Ia menyebut serangan itu merupakan upaya pembunuhan yang ditargetkan terhadap Kepala Staf Militer milisi penguasa Yaman Houthi, Muhammad Al Ghamar. Memanasnya konflik Iran vs Israel bisa memicu ketidakpastian ekonomi dan politik. Skenario buruk pun bisa terjadi, berikut beberapa skenario yang akan terjadi jika perang tersebut terus meluas.
1. Harga Minyak
Harga minyak mentah dapat melonjak tajam jika ketegangan di Timur Tengah terus meningkat, mengingat Timur Tengah adalah pemasok sepertiga pasokan minyak global.
Harga minyak terbang pada perdagangan kemarin, Jumat (13/6/2025) atau beberapa jam setelah Israel dan Iran saling melancarkan serangan udara.
Serangan ini, memicu kekhawatiran investor bahwa konflik dapat mengganggu ekspor minyak dari Timur Tengah dipicu oleh ketegangan politik di Timur Tengah.
Merujuk Refinitiv, harga minyak brent ditutup di US$74,23/barel, naik $4,87 atau 7,02%. Harga brent bahkan sempat menyentuh $78,50, tertinggi sejak 27 Januari 2025. Harga penutupan kemarin juga menjadi yang tetringgi sejak 2 April 2025 atau lebih dari dua bulan.
harga minyak brent naik 13% dalam sepekan.
Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) berakhir di $72,98/barel, naik $4,94 atau 7,62%. Harga sempat melonjak ke $77,62, tertinggi sejak 21 Januari 2025.
Harga minyak WTI naik 13% dalam sepekan.
Harga minyak brent dan WTI masih melonjak 1% pada pagi hari ini, Senin (16/6/2025).
Kedua harga minyak acuan ini mencatat lonjakan intraday terbesar sejak 2022 saat invasi Rusia ke Ukraina mengguncang pasar energi.
Lonjakan harga terjadi setelah Israel mengklaim menyerang fasilitas nuklir, pabrik rudal balistik, dan komandan militer Iran.
Iran membalas dengan meluncurkan rudal ke Tel Aviv; ledakan terdengar di selatan Israel.
Otoritas Iran mengkonfirmasi fasilitas kilang dan penyimpanan minyak Iran tetap beroperasi tanpa kerusakan.
Iran memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari (bpd), dengan ekspor lebih dari 2 juta bpd.
Di luar produksi Iran, ketakutan utama justru terjadi karena adanya pPotensi gangguan di Selat Hormuz. Pasalnya selat itu sekitar 18-19 juta bpd minyak dunia melewati jalur ini.
Dunia kini dilanda kekhawatiran seberapa besar pasokan minyak. Kapasitas cadangan OPEC dan sekutunya untuk meningkatkan produksi guna mengimbangi gangguan pasokan kira-kira setara dengan produksi Iran.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) adalah satu-satunya anggota OPEC+ yang dapat dengan cepat meningkatkan produksi dan diperkirakan dapat menambah sekitar 3,5 juta barel per hari (bpd).
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak bisa menjadi dua sisi yang menguntungkan dan bisa merugikan.
Lonjakan harga minyak ini akan menjadi abar baik bagi emiten minyak seperti PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), dan PT Elnusa Tbk (ELSA).
Bagi pemerintah, kenaikan harga minyak bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, kenaikan harga minyak akan mengerek penerimaan negara dari sektor migas. Namun, lonjakan harga minyak juga bisa membebani subsidi BBMsehingga belanja negara membengkak.
2. Inflasi Naik
Ketika harga minyak mentah melonjak, ancaman inflasi yang tinggi kembali menghantui perekonomian global. Amerika Serikat, India, China, dan negara-negara besar lainnya merupakan importir minyak yang besar dan dapat mengalami inflasi impor yang tinggi jika harga minyak tetap tinggi.
Ketika harga minyak naik, biaya produksi berbagai industri dan biaya energi untuk dunia usaha dan rumah tangga juga meningkat sehingga mendorong inflasi lebih tinggi.
Lonjakan harga minyak, yang sempat mencapai US$139 per barel setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, dapat menghentikan penurunan inflasi.
Jika inflasi naik maka bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) bisa menahan pemangkasan suku bunga.
3. Dollar Bisa Kembali Perkasa
Permintaan terhadap safe-haven telah mendorong penguatan dolar. Indeks dolar kembali menguat ke 98,32 pada hari ini, Senin (16/6/2025). Posisi ini melesat dibandingkan pada Kamis pekan lalu di level 97.
Kenaikan dolar ini membuat mata uang banyak negara terpuruk, bisa membuat mata uang Emerging Markets termasuk rupiah terpuruk.
Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Merujuk Refinitiv, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS padaSenin (16/6/2025) dibuka pada posisi Rp16.310/US$ atau melemah 0,12%.
4. Pasar Keuangan Tenggelam
Mata uang dan saham global langsung ambruk begitu perang Israel vs Iran meletus pada Jumat. ketidakpastian global sehingga investor cenderung menarik dana dari aset berisiko tinggi.
Mata uang, obligasi dan saham Israel telah terkena dampak dari krisis ini, seperti halnya yang terjadi di Mesir, Yordania dan Irak, serta Arab Saudi, Qatar dan Bahrain.
Bursa saham dunia juga ambruk berjamaah pada perdagangan kemarin, Jumat (13/6/2025( setelah serangan Israel ke Iran.
Serangan tersebut meningkatkan ketidakpastian ekonomi dan politik serta memicu lonjakan harga energi.
Dari pasar saham Amerika Serikat (AS), indeks Dow Jones Industrial Average turun 769,83 poin atau 1,79%, berakhir di 42.197,79. Indeks S&P 500 jatuh 1,13% dan ditutup di 5.976,97, sementara Nasdaq Composite melemah 1,30% dan berakhir di 19.406,83. Pasar Asia-Pasifik melemah pada Jumat setelah Israel melakukan serangan militer terhadap Iran dengan menargetkan program nuklirnya, sementara Iran berjanji akan melakukan balasan.
Indeks acuan Jepang Nikkei 225 memangkas pelemahan sebelumnya dan menutup hari turun 0,89% di posisi 37.834,25, sementara Topix melemah 0,95% menjadi 2.756,47.
Kospi Korea Selatan turun 0,87% dan ditutup di 2.894,62, sedangkan Kosdaq yang berkapitalisasi kecil merosot 2,61% ke 768,86.
S&P/ASX 200 Australia mengakhiri perdagangan dengan penurunan 0,21% di level 8.547,40.
Pasar Eropa juga kebakaran pada Jumat pekan lalu. Indeks CAC 40 Prancis juga ambruk 1,07%. FTSE 100 Inggris, yang sempat menguat di awal, juga berakhir melemah 0,39%.
Indeks Stoxx Europe 600 anjlok 0,89%, dan DAX Jerman melemah 1,07%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)