Lidah Mertua RI, Ekspornya Menjulur Sampai ke Amerika Serikat

7 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia- Tak banyak tanaman yang mampu bertahan hidup di bawah cahaya minim, udara kering, bahkan nyaris tanpa air selama berminggu-minggu. Namun, lidah mertua (Sansevieria) adalah pengecualian.

Lidah mertua tumbuh diam-diam di pojok ruangan, tidak menuntut banyak, tapi memberi lebih dari yang tampak. Tanaman ini dikenal mampu menyerap polutan udara, menghasilkan oksigen di malam hari, hingga menyimpan potensi ekonomi yang sayangnya kini mulai redup.

Sansevieria trifasciata, nama latinnya, berasal dari Afrika Barat namun telah menyebar ke berbagai penjuru tropis, termasuk Indonesia. Dikenal juga sebagai snake plant, tanaman ini jadi favorit karena keindahan daunnya yang tegak runcing serta kemampuannya dalam membersihkan udara dari formaldehid, benzena, hingga nitrogen dioksida, seperti dibuktikan studi NASA Clean Air Study (1989) dan riset lanjut di jurnal Environmental Science and Pollution Research (2018). Di Indonesia, lidah mertua banyak dibudidayakan di sentra hortikultura seperti Bandung, Kediri, Sleman, hingga Denpasar, baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

Sayangnya, juluran nilai ekspor lidah mertua RI kian memendek. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor lidah mertua Indonesia sempat menyentuh US$6,59 juta pada 2020 dengan volume lebih dari 660 ribu kg, angka tertinggi dalam enam tahun terakhir. Namun sejak 2022, grafiknya turun drastis, bahkan hanya menyisakan ekspor senilai US$30 ribu pada 2024, dengan volume tak sampai 2 ton. Penurunan drastis ini memperlihatkan ketidakkonsistenan suplai maupun permintaan, atau mungkin melemahnya kebijakan promosi ekspor tanaman hias.

Dari sisi tujuan ekspor, Amerika Serikat dan Belanda sempat menjadi pembeli utama. Pada 2020 misalnya, AS mengimpor lidah mertua dari RI senilai US$852 ribu, sementara Belanda mencatat angka US$1,48 juta.

Negara-negara ini memang dikenal sebagai pasar besar tanaman interior dan hortikultura, baik untuk konsumen langsung maupun distribusi ulang ke kawasan Eropa dan Amerika Utara. Di AS, snake plant menjadi tanaman rumah tangga paling populer kedua setelah monstera, menurut laporan National Gardening Survey 2021.

Sementara itu, Singapura tampil mengejutkan dengan nilai ekspor mencapai US$2,2 juta di 2020 kemungkinan besar karena perannya sebagai hub hortikultura ASEAN. Namun, sejak 2022, sebagian besar negara tujuan ekspor tercatat tidak aktif lagi mengimpor lidah mertua dari Indonesia. Apakah karena kendala logistik, regulasi fitosanitari, atau kalah bersaing dengan produsen lain seperti Thailand dan Belanda?

Padahal lidah mertua tidak hanya dijual sebagai tanaman pot. Di beberapa negara, daunnya diolah menjadi serat tekstil alami, bahan anyaman, hingga bahan baku kosmetik dan aromaterapi. Bahkan, riset di Asian Journal of Agriculture and Biology (2020) menunjukkan bahwa Sansevieria memiliki kandungan bioaktif yang berpotensi sebagai antibakteri dan antioksidan.

Peluang ekonomi dari lidah mertua sebenarnya belum tertutup. Namun agar tak hanya tumbuh di pojok rumah, ia butuh kebijakan yang berpihak, dari standardisasi budidaya, pembinaan UMKM tanaman hias, hingga perjanjian ekspor hortikultura yang lebih progresif. Jika tidak, tanaman yang dikenal karena keuletannya ini akan ironisnya justru layu dalam rantai perdagangan global.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |