Jakarta, CNBC Indonesia — PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex telah berdiri lebih dari 50 tahun. Sebelum dilanda masalah keuangan dan kasus hukum, perusahaan ini adalah raja tekstil Indonesia.
Adapun sejarah Sritex tidak bisa terlepas dari sosok pendirinya, yaitu Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto). Lukminto alias Le Djie Shin adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Solo sejak usia 20-an.
Dalam uraian buku Local Champion, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1966 atau di usia 26 tahun dia berani menyewa kios di Pasar Klewer. Kios itu diberi nama UD Sri Redjeki.
Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang dia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex pada 1980.
Tak banyak cerita 'tangan dingin' Lukminto dalam menjadikan Sritex sebagai 'raja' industri kain di Indonesia. Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan Presiden Indonesia ke-2, Soeharto. Rupanya ada tangan dingin penguasa itu dalam perkembangan Sritex.
Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex adalah ikon penguasa karena disinyalir berada di bawah perlindungan Keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga Soeharto. Fakta ini tidak terlepas dari kedekatan Lukminto dengan tangan kanan Cendana, yakni Harmoko yang selama Orde Baru dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Harmoko adalah sahabat kecil Lukminto.
Karena dekat dengan pemerintah dan pemegang pasar, Sritex dan Lukminto mendapat durian runtuh. Di masa Orde Baru, Lukminto beberapa kali menjadi pemegang tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah.
"Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI," tulis Tempo. Dan karena ini pula Sritex mendapat jutaan rupiah dan dollar, ditambah dengan penguasaanya terhadap pasar garmen di dalam dan luar negeri.
Kini, nasib Sritex jauh berbeda. Di pasar modal saham Sritex telah dihentikan perdagangannya sejak 18 Mei 2022. Setahun kemudian atau Mei 2023, BEI mengumumkan SRIL sebagai emiten dengan potensi delisting. Ketentuan bursa menetapkan delisting dapat dilakukan terhadap saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi sekurang-kurangnya 24 bulan terakhir.
Selain suspensi SRIL yang sudah mencapai lebih dari ketentuan yakni 24 bulan, SRIL memiliki masalah kesehatan keuangan akibat utang yang menggunung. Saat ini, Sritex menanggung defisit modal atau ekuitas negatif karena jumlah liabilitas yang lebih besar dari aset.
Kemudian Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2024 resmi menolak permohonan kasasi yang diajukan SRIL atas putusan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Dengan putusan MA itu, status putusan hukum atas kepailitan Sritex atau SRIL pun inkrah alias berkekuatan hukum tetap.
KondisiSritex yang terpuruk sebenarnya telah lama tercermin dalam laporan keuangan perusahaan, Dalam laporan teranyar atau September 2024, Liabilitas SRIL tercatat sebesar US$1,6 miliar atau sekitar Rp 26,41triliun (kurs Rp16.360), sedangkan ekuitasnya telah mencatatkan defisiensi modal sebesar -US$ 1,02 miliar.
Liabilitas SRIL didominasi oleh liabilitas jangka panjang, dengan perolehan sebesar US$1,48 miliar. Liabilitas jangka pendek tercatat sebesar US$133,84 juta.
Adapun utang bank menjadi salah satu pos paling besar yang menyumbang liabilitas jangka panjang SRIL, dengan nilai sebesar US$ 829,67 juta atau sekitar Rp 13,57 triliun (kurs Rp 16.360). Setidaknya terdapat 28 bank yang memiliki tagihan kredit jangka panjang atas Sritex.
Kondisi keuangan Sritex semakin berat dengan catatan rugi sebesar US$ 66,05 juta atau Rp 1,08 triliun (kurs Rp 16.360). Rugi ini terjadi lantaran penjualan perusahaan tidak mampu menutup beban pokok.
Sritex melaporkan penjualan sebesar US$ 200,93 juta, sedangkan beban pokok US$ 223,52 juta. Belum lagi ditambah dengan beban penjualan, beban umum, hingga beban operasi lainnya membuat rugi dari operasi Sritex pun membengkak menjadi US$ 58,61 juta.
Bos Jadi Tersangka
Petaka terbaru untuk Sritex kini datang dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) 2014-2023 yang sekarang menjabat sebagai Komisaris Utama Iwan Setiawan Lukminto kemarin, Rabu (21/5/2025).
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung atau Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar membeberkan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari beberapa bank pemerintah daerah kepada PT Sritex Rejeki Isman Tbk dengan nilai total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga bulan Oktober 2024 sebesar Rp3.588.650.808.028,57 (Rp 3,58 triliun).
Kejagung juga telah menetapkan eks direktur utama Bank DKI Zainuddin Mapa dan Dicky Syahbandinata selaku pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) tahun 2020.
Dalam keterangan Kejagung, kredit yang diberikan Bank BJB dan Bank DKI saat ini masuk kategori kolektibilitas 5 atau macet. Aset perusahaan tidak bisa dieksekusi untuk menutupi nilai kerugian negara karena nilai lebih kecil dari nilai pemberian pinjaman kredit serta tidak dijadikan sebagai jaminan atau agunan.
(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini: