La Sape, Komunitas Modis asal Kongo yang Bergaya Meski Hidup Pas-pasan

6 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi sebagian orang, kebahagiaan datang dari hidup mapan secara ekonomi. Tapi di Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo, ada sekelompok orang yang mendefinisikan kebahagiaan dengan cara yang berbeda yaitu berpakaian stylish, meski hidup dalam keterbatasan.

Mereka tergabung dalam komunitas bernama La Sape, singkatan dari Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes atau Society of Ambiance-makers and Elegant People. Para anggotanya disebut sapeurs (untuk pria) dan sapeuses (untuk perempuan).

Meskipun kerap mengenakan jas rancangan desainer ternama, para sapeur bukan orang kaya. Mereka adalah pekerja biasa seperti supir taksi, petani, hingga tukang kayu yang hidup sederhana, tapi menaruh gengsi tinggi dalam urusan penampilan.

Asal-usul La Sape diyakini bermula di awal abad ke-20 di masa penjajahan Belgia-Prancis, di mana budak Kongo bekerja untuk mendapatkan pakaian bekas. Di luar jam kerja, para pria Kongo mulai berpakaian seperti "pria Prancis" yang fashionable, ditandai dengan pakaian warna-warni, sepatu mewah, aksesoris seperti topi bowler, tongkat, dan kacamata hitam. Mengenakan pakaian seperti itu, mereka merasa keren dan mendapatkan energi serta kegembiraan.

Apa yang awalnya hanya gaya berpakaian, perlahan menjadi bentuk ekspresi diri. La Sape menjelma jadi perlawanan terhadap kemiskinan dan penindasan, sekaligus saluran untuk mengekspresikan kebanggaan, martabat, dan rasa percaya diri.

Kini, La Sape dianggap sebagai bagian dari identitas budaya Kongo. Para politikus dan musisi lokal pun banyak yang menghormati komunitas ini, meski tidak semua masyarakat melihatnya positif.

"Saya merasa nyaman dengan setelan Ozwald Boateng saya. Bagi saya, La Sape adalah soal kebersihan dan martabat," ujar Aime Champaigne, seorang sapeur, dikutip dari Al Jazeera.

Namun, tak sedikit warga Kongo yang ragu dan menyebut La Sape sebagai obsesi yang mahal dan tak rasional sehingga kecanduan tampil mewah, meski kondisi keuangan pas-pasan. Anggota La Sape tak sudi pakai barang palsu. Dengan penghasilan yang pas-pasan itu pun mereka menabung sedikit demi sedikit sampai memiliki cukup uang untuk membeli setelan jas yang mereka idam-idamkan.

Menurut fotografer dan penulis buku Sapeurs: Ladies and Gentlemen of the Congo, Tariq Zaidi, banyak sapeur yang rela menabung bertahun-tahun demi membeli satu setelan jas desainer yang bisa dihargai hingga US$2.000 (sekitar Rp32 juta).

"Mereka lebih memilih membeli kemeja seharga US$100-200 ketimbang menabung untuk rumah, motor, atau mobil," kata Zaidi kepada Vogue Scandinavia.

Tak ada ruang untuk barang tiruan dalam gerakan ini. Keaslian, gaya, dan cara memadupadankan pakaian menjadi identitas utama. Menjadi trend-setter di komunitas jauh lebih penting dibanding punya aset.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |