Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah signifikan pada pembukaan perdagangan hari ini, Senin (2/6/2025).
Indeks turun 0,58% pada awal pembukaan perdagangan dan lanjut terkoreksi hingga 1% lebih. Pada akhir perdagangan sesi pertama, IHSG tercatat turun 1,70% ke 7.054,18.
Nilai transaksi terbilang ramai yakni mencapai Rp 13,74 triliun yang melibatkan 13,21 miliar saham dalam 876 ribu kali transaksi. Kapitalisasi pasar pun turun menjadi Rp 12.256 triliun.
Nyaris seluruh sektor perdagangan berada di zona merah, dengan hanya sektor energi yang tercatat menguat.
Sektor utilitas (-3,20%), keuangan (-3,13%), barang baku (-1,24%) dan properti (-1,21%) menjadi yang terkoreksi paling dalam pada perdagangan hari ini.
Saham emiten perbankan tercatat melemah signifikan, dengan emiten kapitalisasi pasar terbesar (BBCA) ambruk lebih dari 3%.
Pelemahan IHSG hari ini akan didorong oleh pengumuman sejumlah data ekonomi penting RI, termasuk data Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk periode Mei 2025 dan neraca perdagangan April 2025.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan deflasi pada Mei 2025 sebesar 0,37%. Deflasi ini lebih dalam dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (3/6/2025) menjelaskan, deflasi tersebut didorong oleh penurunan harga pada kelompok makanan, minuman dan tembakau. Di mana tercatat deflasi 1,40%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi memperkirakan IHK secara bulanan (month to month/mtm) diproyeksi turun atau mengalami deflasi sebesar 0,1%. Sementara secara tahunan (year on year/yoy), IHSK masih diproyeksi naik atau mengalami inflasi sebesar 1,89%.
Ini menjadi deflasi ketiga sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%).
Deflasi bisa menjadi kabar buruk karena bisa mencerminkan pelemahan daya beli. Terlebih, Indonesia sudah kerap mencatatkan deflasi pada tahun ini.
Melandainya harga barang bisa dipicu oleh melemahnya permintaan bukan lagi karena harga kembali normal atau pasokan yang mencukupi.
Namun demikian, sentimen positif datang dari investor asing setelah Bank Indonesia (BI) melaporkan data transaksi 26 - 27 Mei 2025, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp1,50 triliun, terdiri dari beli neto Rp0,11 triliun di pasar saham dan Rp2,02 triliun di pasar SBN (Surat Berharga Negara), serta jual neto sebesar Rp0,63 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Selain IHK, investor juga menunggu data neraca perdagangan April 2025. Neraca April akan mencerminkan seberapa besar dampak kebijakan perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca dagang pada April 2025 tercatat surplus US$ 150 juta.
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (2/6/2025) menjelaskan ekspor Indonesia pada April sebesar US$ 20,74 miliar atau naik 5,76% secara tahunan (year on year/ yoy).
Dengan demikian, surplus neraca perdagangan telah tercatat selama 60 bulan beruntun sejak Mei 2020.
Polling CNBC Indonesia dari sembilan institusi menunjukkan neraca dagang Indonesia akan mengecil ke US$ 2,7 miliar pada April 2025, dari US$ 4,33 miliar pada Maret 2025.
Sebagai catatan, Trump mengumumkan kebijakan tarif impor 10% dan tarif resiprokal pada 2 April 2025. Trump juga terus mengganti kebijakan tarif impornya. Trump memang menunda tarif resiprokal hingga 90 hari tetapi tetap memberlakukan tarif 10%.
Kemudian data penting lainnya adalah aktivitas manufaktur RI yang kembali mengalami kontraksi pada Mei 2025. Kontraksi memperpanjang tren negatif menjadi dua bulan beruntun,
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (2/6/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 47,4 atau mengalami kontraksi pada Mei 2025. Ini adalah kedua kali dalam dua bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.
PMI memang lebih baik dibandingkan pada April 2025 yakni 46,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
S&P Global menjelaskan aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan baru yang bahkan lebih tajam dibanding April. Penurunan pesanan bahkan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Siap-siap Ada "Ledakan" Asing ke Pasar RI, IHSG Bisa ke 7.200
Next Article Video: Usai Babak Belur 5 Hari Beruntun, IHSG Terbang Lebih Dari 1 %