Eks Wamen ESDM Ungkap Dampak Perang Tarif Trump Pasca 9 Juli

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2016-2019, Arcandra Tahar memberikan gambaran dampak kebijakan tarif global Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Khususnya terhadap sektor energi global seusai masa penundaan tarif yang akan berakhir pada 9 Juli 2025.

Arcandra mengatakan bahwa Trump sebelumnya mengumumkan penangguhan kenaikan tarif global selama 90 hari sejak 9 April 2025 kecuali untuk China. Selama periode ini, semua tarif timbal balik di atas 10% dihentikan dan hanya berlaku tarif dasar sebesar 10% bagi sebagian besar negara mitra.

Menurut dia, secara umum penundaan pemberlakuan tarif ini ditujukan memberi ruang bagi negara-negara mitra dagang AS untuk duduk bersama agar tidak terjadi eskalasi tarif mendadak. Banyak negara yang sudah mencoba bernegosiasi untuk mencari titik temu berapa besaran tarif impor yang wajar, namun seperti bertepuk sebelah tangan.

"Dengan situasi ini cukup sulit untuk menduga apa yang akan dilakukan Presiden Trump setelah 9 Juli 2025 nanti. Sampai saat ini tidak ada yang tahu pasti, termasuk para Menteri kabinetnya sendiri. Bisa saja Presiden Trump akan memperpanjang kembali penundaan tarif sampai batas waktu yang belum ditentukan," tulis Arcandra dikutip dari akun Instagramnya, Selasa (17/6/2025).

Di bidang energi, kebijakan Trump sendiri telah menciptakan era ketidakpastian. Pasalnya, pelaku bisnis migas dan banyak negara dipaksa bukan hanya menduga apa yang akan Trump lakukan, tetapi juga mempersiapkan diri dengan serangkaian strategi terukur untuk memitigasi risiko.

Arcandra membeberkan sejumlah skenario yang mungkin terjadi setelah 9 Juli 2025. Pertama, semua kenaikan tarif yang sudah diumumkan dibatalkan.

Artinya semua tarif yang sudah berjalan sebelum tanggal 9 April berlaku kembali. Dalam kondisi ini, tarif impor kembali ke rata-rata tertimbang sekitar 2,5%.

Menurut dia apabila skenario ini terjadi, maka kebutuhan gas alam di Eropa diperkirakan akan tetap tinggi sementara di Asia akan semakin naik. Adapun, negara-negara penghasil LNG akan berlomba-lomba untuk menaikkan produksi.

"Pasar yang kelebihan suplai LNG akan mendorong harga turun tapi tidak banyak. Hal ini disebabkan karena kebutuhan gas untuk pembangkit listrik di Amerika Utara juga tinggi terutama untuk mendukung kebutuhan energi bagi data center dan Artificial Intelligence (AI)," katanya.

Menurut Goldman Sach, pertumbuhan kebutuhan listrik untuk data center dan AI di AS naik sekitar 160% di tahun 2030 dibandingkan tahun 2023. Dengan kondisi tersebut, maka 8% produksi listrik nasional di AS akan terpakai untuk sektor ini.

Untuk menopang pertumbuhan data center dan AI, Goldman Sach memperkirakan nilai investasi sebesar US$ 50 miliar untuk pembangkit listrik dan US$ 720 miliar untuk infrastruktur transmisi dan grid system.

Sementara itu, di sektor hulu minyak dan gas (migas), kegiatan eksplorasi dan produksi harus tetap digiatkan. Usaha-usaha untuk menaikkan produksi dari lapangan-lapangan yang sudah tua juga harus tetap dilakukan karena demand yang masih stabil.

"Di sektor midstream, pembangunan infrastruktur gas harus diperluas karena LNG akan menjadi komoditas penting, tidak saja dalam masa pemerintahan Trump tapi juga dalam beberapa dekade ke depan," tambahnya.

Lebih lanjut, Arcandra mengatakan bahwa menurut U.S. Energy Information Administration, pertumbuhan fasilitas ekspor untuk LNG di AS akan meningkat dua kali lipat di tahun 2028 dibanding tahun 2023. Oleh sebab itu, diperlukan investasi sekitar US$ 45-62 miliar.

"Skenario kedua Trump menaikkan tarif impor sebesar 10% seperti dalam masa penundaan pemberlakuan tarif baru. Dengan kondisi ini perekonomian AS akan melambat, tapi tidak sampai terjadi resesi," katanya.

Menurut dia, hal ini disebabkan karena masih ada pertumbuhan yang positif seperti dari sektor kelistrikan untuk menopang industri data center dan AI. Sementara itu kondisi yang sedikit berbeda terjadi di Eropa, dimana kebutuhan gas dan LNG akan turun paling tidak sampai tahun 2030.

"Apa yang sebaiknya dilakukan sektor hulu migas kalau skenario kedua terjadi? Skenario ini membuat kegiatan eksplorasi dan produksi dalam keadaan waspada, dimana belanja modal harus benar-benar diarahkan kepada usaha yang punya resiko kecil," kata Arcandra.

Ia menilai usaha-usaha untuk mempertahankan tingkat produksi dari lapangan-lapangan yang sudah beroperasi harus tetap dilakukan. Demand terhadap minyak akan turun, namun negara-negara konsumen yang masih punya cadangan migas, harus tetap mendorong eksplorasi.

Kemudian apabila skenario ketiga diambil yakni Trump memberlakukan tarif maksimum seperti yang disampaikan pada 2 April 2025. Maka, rata-rata tertimbang pengenaan tarif impor ini sekitar 30%.

"Kalau ini terjadi maka AS akan mengalami resesi dan efek dominonya akan merambat ke banyak negara di dunia. Demand gas dan LNG akan turun banyak di Eropa dan Asia, sementara produksi shale gas di AS akan terganggu karena harga minyak yang turun. Seperti yang kita tahu ongkos produksi shale gas dan shale oil cukup mahal," katanya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Trump Blak-blakan Mau Bom Iran, Ancam Tarif Gila-gilaan

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |