Dulu Kevin Ramai, Kini Kevin Sendiri

6 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan.

Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik. Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi.

Di sini, penulis ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman. Adapun Episode Ke-5 ini kami beri judul: "Dulu Kevin Ramai, Kini kevin Sendiri". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.

Ini adalah kisah klasik yang ditulis kembali di masa modern, dari cerita yang merupakan memori kolektif bagi hampir semua milenial dan Gen X di dunia.

Ini adalah cerita tentang Kevin. Semua orang pernah jadi Kevin. Setidaknya sekali dalam hidup kita pernah merasa tertinggal, salah paham, ingin didengar, tapi justru dianggap rewel.

Tapi Kevin kecil di film 'Home Alone' tidak hanya ditinggal, ia ditinggal dalam rumah besar yang awalnya tampak seperti istana impian: tangga megah, dapur luas, halaman depan bersalju, kamar yang cukup untuk semua anak dan sepupu. Rumah itu riuh, penuh suara, penuh amarah. Tapi juga penuh cinta.

"Paman Frank yang cerewet dan pelit, sepupu-sepupu yang sok keren dan menyebalkan." Abang Buzz yang manipulatif dan nakal, serta Fuller si kecil yang suka pipis di kasur. Semuanya seperti satu orkestra kebisingan yang menggambarkan satu hal yang telah hilang dari banyak rumah hari ini: keramaian yang hangat.

Kevin awalnya marah. Ia merasa tak dipedulikan. Tapi ketika semua hilang dan ia benar-benar sendiri, ia sadar: lebih baik gaduh tapi bersama, daripada tenang tapi sepi.

Hari ini, di berbagai belahan dunia baik barat ataupun timur, banyak rumah sunyi bukan karena anak-anaknya sedang liburan. Tapi karena anak-anaknya tak pernah ada, atau tak sempat pulang. Atau mungkin mereka memilih menetap dalam layar mereka masing-masing.

Orang tua pun sama, terlalu lelah, terlalu sibuk, atau terlalu takut untuk berdekat-dekatan lagi. Ekonomi kita telah membentuk keluarga menjadi unit yang optimal: efisien, produktif, hemat ruang, hemat waktu, serta hemat sentuhan.

Dulu, rumah besar seperti keluarga Kevin adalah norma dan lambang kebahagiaan. Kini, ia dianggap pemborosan. Anak banyak dianggap beban, keluarga besar dianggap sumber stres.

Dan Kevin? Ia sekarang tidak perlu tertinggal. Karena bahkan sejak awal, ia dibesarkan untuk sendirian. Dalam dunia seperti ini, pertanyaannya bukan lagi apakah Kevin bisa bertahan sendiri. Tapi, kenapa ia benar-benar sendiri bersama dengan gadget-nya.

Pertama kali kenal Kevin, tidak ada yang bertanya, kenapa sang Ayah Peter Mccalister bisa membawa keluarga 15 orang ke Paris. "Tiga dekade berlalu, dan pertanyaan yang dulu tak perlu ditanyakan kini muncul di forum-forum online: apa sebenarnya pekerjaan Peter McCallister? Karena membawa 15 orang kelas menengah ke Paris kini terasa seperti cerita fiksi sains."

"Siapa sebenarnya Peter McCallister? Ia bukan konglomerat. Ia hanya ayah dari zaman yang masih percaya pada rumah besar, bukan apartemen mungil yang dijual dengan harga miring tapi tanpa suara tawa. Ia hidup sebelum daycare menggantikan ibu, sebelum ekonomi merampas waktu ayah. Zaman ketika 15 orang pergi ke Paris bukanlah keajaiban, itu hanya keluarga."

Lalu, kenapa sekarang, Ketika pendapatan per kapita di Amerika Serikat (AS) sudah tiga kali lipat lebih tinggi, kita tak mendengar lagi kisah seperti dalam cerita 'Home Alone', yang ada justru lebih banyak anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak ideal?

Sungguh ironis, ketika film ini baru muncul, PDB per kapita Amerika Serikat belum sampai US$ 40 ribu. Saat ini, ketika PDB per kapita itu hampir US$ 70 ribu, kisah 15 orang keluarga besar liburan natal ke Paris menjadi perbincangan dan masyarakat melihat itu sebagai sebuah privilese yang luar biasa.

Pada tahun 1990, ketika film Home Alone tayang, satu orang ayah kelas menengah AS, seperti Peter McCallister mampu untuk: Memiliki rumah besar tiga lantai di pinggiran kota Chicago, menghidupi keluarga besar yang ribut tapi utuh, dan bahkan membiayai tiket pesawat ke Paris untuk 15 orang, tanpa terlihat stres, tanpa "side hustle", tanpa pinjaman fintech.

Tapi hari ini, bahkan dengan PDB per kapita AS yang sudah melonjak hampir tiga kali lipat dalam 35 tahun, mayoritas keluarga kelas menengah tidak akan mampu mengulang pengalaman itu. Apalagi dengan hanya ayah yang bekerja.

Harga tiket internasional untuk 15 orang? Bisa menelan lebih dari US$ 20 ribu hingga US$ 30 ribu hanya untuk perjalanan. Belum lagi biaya hidup, penginapan, dan absennya jaring sosial yang dulu menopang liburan keluarga besar.

Kini, keluarga bukan lagi hal yang dirayakan oleh sistem, tapi beban yang harus dikelola secara finansial. Dan Kevin? Ia tetap sendiri. Tapi kali ini bukan karena tertinggal. Ia sendiri karena begitulah dunia membesarkannya dalam keheningan, bukan keramaian.

Di sisi lain, kita juga ingat dengan Kate Mcallister sang ibu. Kate bukan ibu sempurna. Ia cerewet, kadang terdengar keras. Ia marah-marah saat Kevin rewel.

Tapi kita tahu satu hal pasti: Ketika Kevin tertinggal, dia-lah yang bertarung mati-matian untuk kembali. Bukan ayahnya. Bukan paman Frank. Bukan tetangganya atau dinas sosial dan kepolisian. Kate yang menempuh jalan terpanjang, dari Paris, ke Dallas, ke Scranton hanya untuk kembali memeluk anaknya yang "rewel."

Dia tidak menunggu sistem membantu. Dia tidak marah pada maskapai. Dia tidak menyalahkan takdir. Dia bergerak dengan sisa uang, dengan rasa bersalah, dengan cinta.

Ini bukan manajemen krisis, ini adalah insting keibuan yang tak bisa digantikan negara atau pasar. Sementara itu, dunia hari ini penuh kebijakan "ramah keluarga", namun berapa banyak Kate yang masih sanggup bertarung seperti itu?

Pekerjaan Kate apa tidak pernah dijelaskan. Tapi kita tahu perannya: pengikat yang menyatukan rumah yang gaduh itu menjadi rumah yang manusiawi. Kini banyak ibu terpaksa jadi manajer, penanggung beban ganda, bahkan tulang punggung finansial.

Kate adalah perempuan dari masa waktu belum menjadi komoditas. Dia mungkin tidak punya sesuatu yang mentereng. Tapi dia punya kehadiran. Dia bukan figur publik. Tapi dia adalah tempat anaknya pulang.

Dan ketika Kevin melihatnya di pintu, itu adalah kemenangan yang tak terbayangkan rasanya. Bukan aplikasi atau teknologi yang mengembalikan Kevin ke rumah, tapi ibu. "Di dunia saat ini, mungkin akan sulit menemukan yang berjuang naik truk bersama polka band demi bertemu anaknya."

Ternyata, semakin tinggi pendapatan per kapita itu, rumah ternyata tidak membesar, keluarga tidak bertambah. Yang ada justru rumah semakin kecil dengan keluarga yang semakin renggang.

Di AS, tempat Kevin dulu tumbuh, pendapatan per kapita telah naik hampir tiga kali lipat. Tapi luas rumah median tidak bertambah, yang ada turun. Jumlah keluarga besar menurun. Harga rumah melonjak empat kali lipat, sementara gaji riil stagnan. Ibu-ibu kini bekerja penuh waktu bukan karena ambisi, tapi karena ekonomi tak memberi pilihan.

Peter tak bisa pulang lebih cepat di zaman ini, dan Kate tak akan sempat menyiapkan sarapan. Sistem telah mengganti cinta dengan kesibukan, dan waktu dengan cicilan. Mungkin sekarang Frank dan Marv juga bingung untuk mencari rumah besar untuk dicuri, karena sebagian besar sudah berubah jadi rumah yang lebih kecil.

Indonesia berjalan di jalan yang sama, hanya dengan jeda waktu. Pendapatan per kapita kita telah naik hampir dua kali lipat sejak tahun 2000 dengan gaji formal yang tertahan.

BPS menunjukkan bahwa mayoritas buruh formal bergaji di bawah Rp 5 juta, sementara harga rumah tapak di kota besar sudah menyentuh Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar lebih. Dulu, satu kepala keluarga bisa membeli rumah dan menghidupi anak-anak. Kini, dua orang tua bekerja penuh waktu pun belum tentu cukup.

Tak heran bila banyak pasangan muda menunda punya anak, atau memilih satu anak saja, bukan karena mereka tak suka anak, tapi karena dunia hari ini tak menyediakan ruang bagi tumbuhnya keluarga.

Rumah-rumah dibangun serba praktis, sempit, dan sunyi. Ukuran rumah mengecil tapi makin sunyi. Tidak ada halaman untuk berlari, tidak ada ruang untuk paman yang cerewet, atau nenek yang suka ikut campur.

Yang ada hanya isolasi dengan koneksi internet cepat. Kevin mungkin tidak akan kesepian ketika ditinggal di rumah di zaman sekarang, dan ketika ibunya tahu dia tertinggalpun, Ibunya tak akan datang kepadanya.

Maka pertanyaannya kini bukan lagi: "Apa yang membuat rumah bahagia?", tapi: "Apakah masih mungkin membangun rumah yang manusiawi di dunia yang terlalu sibuk menjadi efisien?". "Jika Kevin hari ini tertinggal, apakah masih ada yang akan kembali mencarinya? Atau dunia hanya akan bilang: dia pasti sudah aman dengan gadget-nya di rumah.

Maka pertanyaannya kini bukan lagi: Apa yang membuat rumah bahagia?. Tapi: Apakah masih mungkin membangun rumah yang manusiawi di dunia yang terlalu sibuk menjadi efisien? Jika Kevin hari ini tertinggal, Apakah masih ada yang akan kembali mencarinya? Atau dunia hanya akan bilang: "Tenang saja, dia pasti aman bersama gadget-nya, di rumah yang sunyi."


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |