Jakarta -
Di bawah tenda pengungsian yang panas dan tanpa kipas angin, sejumlah waria duduk termenung di satu sudut. Mereka turut menjadi korban kebakaran yang melanda kawasan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, tempo hari.
Medi (52) delapan tahun terakhir hidup sederhana di kamar petak ukuran 3x2 meter yang kini telah menjadi abu. Kini Medi dan teman warianya berada di tenda pengungsian yang sama sambil menunggu kepastian nasib di sana.
Dia mengaku tak mengeluh dengan pengungsian itu. Medi justru masih bersyukur lantaran masih bisa tidur dan makan untuk bertahan hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya di sini udah teduh tapi panas, dari segi konsumsi makanan udah lengkap. Mungkin hawanya aja panas nggak ada kipas," kata Medi saat berbincang di lokasi pengungsian, tak jauh dari lokasi kebakaran, Minggu (8/6/2025).
Medi hidup berkelompok bersama 14 teman warianya. Mereka sehari-hari mencari nafkah dengan mengamen, berkeliling ke beberapa daerah di Jakarta. Kebakaran itu datang tiba-tiba.
Seingat Medi, kebakaran terjadi saat siang hari ketika warga sedang salat Jumat. Ketika itu, sebagian dari mereka baru bersiap-siap untuk berangkat mengamen, namun tiba-tiba ada teriakan warga yang membuat rencana mengamen urung dilakukan.
"Kita sebenarnya lagi duduk-duduk di bawah aja. Mau siap-siap berangkat itu, rencana nunggu abis salat Jumat dulu, baru jalan. Tiba-tiba ada yang teriak 'api-api kebakaran' langsunglah brebek-brebek lari. Yang kita pikirin cuma satu itu, surat penting doang," ungkap Medi sambil ditemani Puri dan Marcela.
Map berisi KTP, KK, dan ijazah menjadi satu-satunya barang yang berhasil diselamatkan. Medi tak peduli baju mengamennya saat itu, yang pasti surat-surat penting harus bisa diselamatkan.
"Kalau urusan baju bisa ketemu di jalanlah," ucapnya.
Setelah si jago merah membakar hangus tempat tinggalnya, Medi dan temannya punya masalah baru. Kini, tantangan yang mereka hadapi bukan hanya soal kehilangan kontrakan, tapi juga mencari tempat tinggal baru yang mau menerima keberadaan dan kondisi mereka.
"Kalau relokasi, kita-kita ini pada waria nih, waria ngamen. Kita lihat lingkungan, kadang-kadang lingkungan nggak nerima kita gitu," jelasnya.
Dengan situasi ini, yang mereka harapkan sederhana, yakni tempat tinggal yang aman dan diterima tanpa dihakimi. Bagi mereka sedikit bantuan dana bisa membuat mereka mencari tempat baru.
"Kalau ditanya minta bantuan, yang saya pengen ya sumbangan uang aja, kita mau nyari kontrakan baru sekitar sini yang udah welcome sama kita. Mereka udah paham kita. Kalau kita cari lokasi baru, tiap tempat beda. Belum tentu warga lain nerima kita," jelasnya.
Selama delapan tahun ini, Medi menyewa kamar seharga Rp 300 ribu per bulan. Namun sekarang, untuk bisa mengontrak rumah atau kamar lagi, mereka harus mulai dari nol.
Sebagian alat mengamen milik media dan rekannya seperti music box ikut hangus terbakar. Mereka harus mengumpulkan uang minimal untuk sebulan harga kamar.
"Kalau yang udah berangkat ngamen musik boksnya aman bisa kebawa. Kita perlu juga itu buat ngamen kan, ada juga kita nggak kebawa," katanya.
(ygs/ygs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini