5 Hal soal Putusan MK Terbaru, Pileg DPRD Digabung Pilkada

6 hours ago 1
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. MK mengatakan pemilihan legislatif DPRD dan Pilkada bakal digabung.

Gugatan ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perludem meminta agar Pemilu untuk tingkat nasional dipisah dan diberi jarak 2 tahun dengan Pemilu tingkat daerah.

Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024. Perludem mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut fakta-faktanya:

1. Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

Putusan ini dibacakan hakim MK pada Kamis (26/6/025). MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.

"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden'," ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan amar putusan, Kamis (26/6/2025).

2. Pileg DPRD dan Pilkada Digabung

MK juga memutuskan pemilihan umum DPRD dan kepala daerah dilaksanakan serentak. Pemilihan dilakukan 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

"Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang ke depan tidak dimaknai, "Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional," ujar Hakim MK.

Terkait dengan pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pemilihan 27 November 2024 dan yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan 14 Februari 2025, MK menyerahkan pengaturan itu ke DPR. Dalam hal ini, DPR sebagai pembentuk undang-undang.

"Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," kata hakim MK Saldi Isra.

MK mengusulkan penentuan dan perumusan dimaksud diatur oleh pembentuk undang-undang dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). Hal ini berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional.

3. Alasan MK Pisah Pileg DPRD dan Pilpres

Ilustrasi TPS Pemilu Ilustrasi pemungutan suara (Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom)

MK membacakan alasan putusan ini. Salah satu alasannya, MK menilai pemilu serentak membuat masyarakat jenuh dan tidak fokus.

"Menurut Mahkamah, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional ke depan adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD dan presiden/wakil presiden, dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota," ujar hakim MK Saldi Isra.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan waktu penyelenggaraan pilpres serta pileg yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pilkada menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pilpres dan anggota legislatif.

Selain itu, dengan rentang waktu yang berdekatan dan ditambah dengan penggabungan pemilihan umum anggota DPRD dalam keserentakan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.

Padahal, menurut MK, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu atau masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden.

Tak hanya itu, MK juga menilai tahapan penyelenggaraan pemilu anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik-terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum. Akibatnya, kata MK, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.

MK mengungkapkan jadwal yang berdekatan itu membuat partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden.

Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.

"Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral," kata hakim MK Arief Hidayat.

4. Kemendagri Akan Pelajari Putusan MK

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mempelajari lebih dulu putusan itu. Tanggapan ini disampaikan oleh Wamendagri Bima Arya.

"Kita pelajari dulu. Saya baru mendapatkan informasi, kita pelajari dulu karena saat ini pun kan sedang dalam proses revisi Undang-Undang Pemilu," kata Bima Arya di IPDN, Jawa Barat, Kamis (26/6/2025).

Bima mengatakan putusan MK dipelajari dan diletakkan dengan konteks revisi Undang-Undang Pemilu. Bima juga mengatakan telah ada masukan terkait pemisahan itu sebelumnya dari elemen masyarakat.

"Ya pasti (putusan jadi pertimbangan di revisi UU) Keputusan MK kan pandangan banding, tapi bagaimana eksekusi dan implementasinya kita harus pelajari detail dulu," ucap dia.

"Itu salah satu yang gencar disuarakan oleh teman-teman kampus dan pemerhati pemilu," tambahnya.

5. Tanggapan Komisi II DPR

Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Rifqinizamy mengatakan putusan itu akan menjadi fokus utama Komisi II dalam melakukan revisi UU Pemilu.

"Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, terutama sekali lagi dalam politik hukum nasional yang menjadi kewenangan konstitusional kami," kata Rifqinizamy kepada wartawan, Kamis (26/6).

Meski begitu, Rifqinizamy menghormati putusan MK tersebut. Dia memastikan putusan itu akan turut dibahas dalam revisi UU Pemilu.

"Kami menghargai putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan adanya pendapat hukum, dari Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan pemilu nasional dan pemilu lokal," ujarnya.

"Dan hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi Undang-Undang Pemilu yang akan datang," sambungnya.

Rifqinizamy mengatakan sejumlah hal harus dikaji lebih dalam mengenai pelaksanaan pemilu nasional dan daerah yang digelar terpisah. Sebab, kata dia, jika pemilu nasional dan daerah digelar terpisah, diperlukan aturan transisi.

"Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten/kota, termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota, itu kan harus ada norma transisi," ujarnya.

"Kalau bagi penjabat gubernur, bupati, wali kota, kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin, tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan," sambung dia.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf juga menanggapi putusan MK yang meminta pemilu nasional dan daerah digelar terpisah. Dede Yusuf memastikan DPR akan mengkaji putusan tersebut.

"Ya kita apresiasi apapun juga keputusan MK, ini harus kita laksanakan dengan baik dan ketika itu nanti diminta dilakukan rekayasa undang-undang oleh DPR, dalam konteks ini misalnya Komisi II tentu kita akan kaji sebaik-baiknya," kata Dede Yusuf kepada wartawan, Kamis (26/6).

Dede Yusuf mengakui jika format pemilu nasional dan daerah kerap menjadi perdebatan. Menurutnya, putusan MK ini sejalan dengan usulan dari sejumlah anggota Komisi II.

Namun, kata dia, ada sejumlah hal yang perlu dikaji mendalam. Terutama, mengenai masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.

"Artinya yang harus menjadi isu pertama adalah kemungkinan besar DPRD itu akan bertambah masa jabatan sekitar 2 tahun. Kalau kita berbicara pastinya adalah 2 tahun," ujar dia.

"Kedua, akan ada opsi apakah kepala daerahnya diperpanjang 2 tahun atau ada PJ-nya 2 tahun," sambungnya.

(lir/lir)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini


Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |