Strategi Moneter di Tengah Gejolak Keuangan Dunia

6 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Bank Indonesia (BI) memutuskan menahan suku bunga acuannya (BI-rate) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 17-18 Juni 2025. BI memutuskan mempertahankan BI-Rate pada angka 5,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,25 persen.

Ada yang menarik dari keputusan penahanan BI-rate tersebut di tengah meningkatnya gejolak keuangan dunia. Eskalasi geopolitik di Timur Tengah yang meningkat berpotensi mendorong perlambatan ekonomi dan memperbesar risiko ketidakpastian.

Tulisan ini menyoal alasan di balik keputusan tersebut dalam perspektif kebijakan moneter dan dinamika keuangan dunia.

Keuangan Dunia
Potret keuangan dunia saat ini masih tampak begitu kompleks. Negosiasi sejumlah negara dengan AS terkait tarif resiprokal Presiden Donald Trump masih berlanjut. Jika gagal, tentu dapat berdampak pada perlambatan ekonomi dunia.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan Jepang saat ini juga menghadapi tantangan penurunan akibat kebijakan fiskal ekspansif dan moneter. China sendiri sedang menghadapi penurunan permintaan domestik di tengah penurunan nilai ekspornya ke AS.

Inflasi di AS memang menurun seiring melambatnya ekonomi, namun inflasi pada kelompok barang yang terimbas tarif Trump tetap ada. Pergeseran aliran modal juga terjadi di pasar keuangan.

Pergeseran tersebut mencakup dua pola. Pertama, pergeseran aliran modal dari AS pada aset investasi lain yang dianggap aman. Kedua, pergeseran aliran modal dari AS pada aset keuangan di negara-negara berkembang.

Kedua pergeseran tersebut turut memicu pelemahan indeks dolar AS terhadap indeks mata uang negara maju (DXY) dan indeks mata uang negara berkembang (ADXY). Fenomena ini menjadi cerminan masih tingginya ekspektasi pasar terhadap ketidakpastian global.

Eskalasi ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah juga menambah gejolak ekonomi dunia. Sejumlah faktor tersebut membuat pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi hanya berada pada kisaran 3,0 persen pada tahun 2025. Kondisi ini tentu membutuhkan penguatan respons dan sinergi kebijakan yang baik untuk menjaga stabilitas, ketahanan eksternal, dan pertumbuhan di Indonesia.

Ekonomi Indonesia
Keputusan penahanan suku bunga acuan tentu telah dikalkulasi dengan matang oleh BI. Sejumlah data makro berikut diduga menjadi alasannya. Inflasi tahun 2025 diprediksi masih relatif stabil, berada dalam rentang sasaran pemerintah dan BI (2,5±1 persen).

Aliran masuk modal asing ke investasi portofolio terus berlanjut sehingga Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih baik. Statistik pada neraca dagang Maret dan April 2025 berturut-turut juga menunjukkan surplus pada angka 4,3 dan 0,2 miliar dolar AS. Surplus tersebut didukung oleh kinerja positif sejumlah barang ekspor (CPO, mesin listrik, besi baja, dan kimia organik).

Data per 16 Juni 2025 menunjukkan aliran masuk bersih modal asing ke instrumen portofolio domestik (Surat Berharga Negara‒SBN) pada triwulan II ini sudah mencapai 1,7 miliar dolar AS. Statistik dari posisi cadangan devisa juga cukup positif. Pada akhir Mei 2025, cadangan devisa tercatat sebesar 152,5 miliar dolar AS.

Angka tersebut ekuivalen dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri. Sebagai pembanding, standar kecukupan impor internasional berada pada angka 3 bulan. Kondisi ini mengindikasi NPI 2025 masih relatif stabil dengan defisit transaksi berjalan yang diprediksi lebih rendah (berkisar 0,5 hingga 1,3 persen dari Produk Domestik Bruto).

Kebijakan stabilitas nilai tukar yang dilakukan BI turut mendukung penguatan rupiah. Penguatan tersebut juga didukung oleh imbal hasil yang menarik, aliran masuk modal asing (khususnya SBN), inflasi terkendali, prospek pertumbuhan ekonomi, pasokan valuta asing (valas), dan kenaikan konversi valas ke rupiah oleh eksportir (pascaimplementasi kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam).

Sisi permodalan pada industri perbankan juga menunjukkan ketahanan yang baik. Rasio kecukupan modal perbankan pada April 2025 berada pada angka 25,41 persen. Ditinjau dari konsep keuangan, angka ini cukup mampu dalam menyerap risiko.

Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan‒NPL) pada periode yang sama juga tampak terkendali. NPL berada pada angka yang relatif rendah (2,24 persen untuk NPL bruto dan 0,83 persen untuk NPL neto). Sejumlah indikator keuangan tersebut menunjukkan prospek ketahanan moneter nasional yang relatif baik untuk saat ini.

Penguatan Strategi Moneter
Bank Indonesia (BI) tampaknya terus memperkuat respons kebijakan moneternya. Intervensi pasar valas yang terukur untuk mendukung stabilitas nilai tukar dilakukan di pasar global melalui off-shore Non-Deliverable Forward (NDF). Intervensi ini dilakukan dalam bentuk kontrak derivatif untuk mengendalikan ekspektasi pelaku pasar terhadap nilai tukar rupiah.

Respons kebijakan lain dilakukan BI dalam bentuk triple intervention. Strategi moneter tersebut mencakup optimalisasi transaksi di pasar spot, Domestic NDF (DNDF), dan SBN di pasar sekunder.

Strategi moneter berikutnya dilakukan melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Strategi ini juga disertai dengan pembelian SBN di pasar sekunder untuk menjaga stabilitas pasar keuangan.

Penguatan strategi operasi moneter yang pro-market dilakukan dengan mengelola struktur suku bunga instrumen moneter dan swap valas. Strategi ini bertujuan untuk memperkuat efektivitas transmisi penurunan suku bunga dengan tetap menjaga daya tarik aliran masuk modal asing.

BI juga memperkuat strategi lelang SRBI dan pembelian SBN di pasar sekunder untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan. Terakhir, BI memperkuat peran dealer utama untuk meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan transaksi repurchase agreement (repo) antarpelaku pasar.

Berbagai strategi moneter yang telah diramu BI tampaknya diarahkan pada tiga aspek strategis. Pertama, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menarik aliran masuk modal asing ke aset keuangan domestik. Kedua, mencapai target sasaran inflasi. Ketiga, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Tantangan
Ekonomi Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan pada tahun 2025 dan tahun 2026. Daya beli yang belum optimal dan eskalasi geopolitik global yang meningkat menjadi aspek prioritas yang perlu diperhatikan para pengambil kebijakan.

Sinergi kebijakan yang ditempuh harus mampu meminimalisir potensi risiko sistemik ketika terjadi ketimpangan pada rantai pasok dunia, terutama sektor pangan dan energi.

Dinamika keuangan dunia yang terus bergejolak menjadi tantangan tersendiri dalam menyusun arah kebijakan ekonomi. Memformulasi kebijakan yang mendorong pertumbuhan atau mengembangkan pendekatan kebijakan untuk menjaga stabilitas tentu bukan pilihan yang mudah.

Keputusan RDG-BI dengan tetap mempertahankan BI-rate pada angka 5,50 persen sepertinya lebih ditujukan untuk menjaga stabilitas dengan tetap mempertahankan pertumbuhan yang ada. Hal ini tampak dari bauran kebijakan tambahan yang diformulasi untuk mendukung tujuan tersebut. Sebagai contoh, pelonggaran moneter dan likuiditas yang diambil juga diikuti dengan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor prioritas.

Kebijakan moneter BI tentu tidak mampu berdiri sendiri. Diperlukan sinergi yang kuat dengan kebijakan stimulus fiskal dan sektor riil pemerintah, termasuk program Asta Cita. Sinergi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga sangat penting di tengah tingginya gejolak keuangan dunia. Tujuannya jelas, memitigasi potensi risiko sistemik yang dapat mengguncang stabilitas sistem keuangan nasional.

Sebagai penutup, implementasi strategi moneter BI yang begitu komprehensif tentu diharapkan mampu meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan untuk mencapai target sasaran inflasi dan menjaga stabilitas rupiah. Meskipun dinamika keuangan dunia terus bergejolak, optimistik terhadap stabilitas moneter dan membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester II tahun 2025 tentu tetap ada.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |