Selamat Datang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia

1 week ago 6

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menggelar konferensi pers terkait Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 di kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (27/5/2025). Ada hal yang menarik dalam materi konferensi pers yang disampaikan oleh Bahlil, yaitu dari target penambahan kapasitas pembangkit listrik yang akan menjadi 69,5 GW sesuai target RUPTL ini terdapat 76% penambahan yang berasal dari pembangkit listrik dari energi baru dan energi terbarukan (perinciannya 60 % EBET dan 15% storage).

Hal yang lebih menarik lagi adalah ternyata terdapat target kapasitas sebesar 0,5 GW yang ditargetkan dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang direncanakan akan dibangun di Sumatra sebesar 250 MW dan di Kalimantan dengan kapasitas yang sama (250 MW).

Sebelum ini, tepatnya pada tanggal 7 Mei 2025, saya bersama salah seorang ahli dari Dewan Energi Nasional menjadi narasumber pada sebuah acara peluncuran buku yang diselenggarakan oleh Institute of Energy and Development Studies (IEDS) dengan keynote speech oleh Dr. Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM.

Pada saat itu Dr. Dadan sudah "membocorkan" bahwa pada tahun 2045 Bauran Energi Indonesia sudah memasukkan nuklir sebagai salah satu sumber energi primer. Tanpa banyak pertimbangan, selang tiga hari dari acara tersebut, pada tanggal 10 Mei 2025, IEDS menyelenggarakan webinar dengan tema "Menakar Masa Depan Energi Nuklir Indonesia: Antara Ambisi, Teknologi dan Geopolitik".

Lagi-lagi saya diminta menjadi narasumber bersama dengan Prof. Anhar R Antariksawan dan Dr. Sri Peni Inten Cahyani. Meskipun kami belum pernah bertemu sebelumnya, namun ibarat gayung bersambut kami bersepakat bahwa Indonesia dalam rangka menuju swasembada energi dan Nett Zero Emission (NZE) yang sekaligus juga merupakan target-target dari 17 Goals dalam Sustainability Development Goals (SDG), yaitu khususnya goal ke-7 (grow affordable and clean energy) dan goal ke 13 (organize climate action), kami bersepakat energi nuklir adalah salah satu jawaban yang paling tepat.

Dr. Sri mengutip laporan IEA (International Energy Agency) menyebutkan bahwa dalam rangka NZE, negara China saat ini memakai nuklir untuk listriknya sebesar 56 GW dan akan terus meningkat hingga 110 GW pada tahun 2030. Prancis menargetkan 50% dari bauran energi negaranya bersumber dari energi nuklir. Jepang menargetkan 20%-25% bauran energinya dari nuklir untuk mencapai target NZE pada tahun 2050. Prof. Antariksawan pun mengamini dengan menyebut berbagai sumber yang menyimpulkan nuklir adalah energi terbersih dan teraman ketiga di dunia setelah energi matahari (solar) dan bayu (wind).

Sebagai seorang yang berkecimpung sebagai praktisi hukum dan pengajar kebijakan publik di bidang energi migas dan energi terbarukan saya fokus pada bahasan tentang enablers (hal-hal yang mengakibatkan bisa) terwujudnya energi nuklir di Indonesia dari sisi regulasi dan kebijakan. Untuk mendirikan PLTN tidak bisa sembarangan. Menurut IAEA INIR Mission ada 19 prasyarat yang harus dipersiapkan dirumuskan dan ditetapkan, yaitu:

1. National Position (Ketetapan Sikap Negara)
2. Safety (Keselamatan)
3. Management (Tata Kelola)
4. Funding/Financing (Pembiayaan)
5. Legal Framework (Kerangka Kerja Hukum)
6. Safeguard (Garda Penyelamat)
7. Radiation Protection (Perlindungan Terhadap Radiasi)
8. Regulatory Framework (Perangkat Pengaturan)
9. Electrical Grid (Jaringan Kelistrikan)
10. Human Resources Development (Sumber Daya Manusia)
11. Stakeholders Involvement (Keterlibatan Pemangku Kepentingan)
12. Site and Supporting Facilities (Kesiapan Fasilitas Pendukung di Lapangan)
13.Environmental Protection (Perlindungan Lingkungan)
14. Emergency Planning (Perencanaan Kedaruratan)
15. Nuclear Security (Pengamanan Nuklir)
16. Nuclear Fuel Cycle (Daur Bahan Bakar Nuklir)
17. Radioactive Waste Management (Penanganan Sampah Radioaktif)
18. Industrial Involvement (Keterlibatan Industri)
19. Procurement (Pengadaan).

Dari sisi legal framework, saat ini Indonesia masih mengandalkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, meskipun sempat ramai dibicarakan bahwa Undang-undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) akan menjadi UU baru yang menggantikan atau melengkapi UU Nomor 10 Tahun 1997 tersebut yang dalam beberapa hal sudah perlu dilakukan penyesuaian.

UU Nomor 10 Tahun 1997 pada Pasal 3, 4 dan 5 mengamanatkan adanya tiga lembaga yang menjadi pilar ketenaganukliran yang sekaligus menjadi model suprastruktur tata kelola kenukliran di Indonesia, yaitu lembaga badan pelaksana, lembaga badan pengawas, dan lembaga majelis pertimbangan tenaga nuklir. Kedua lembaga, yaitu badan pelaksana dan badan pengawas bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Keberadaan Badan Pelaksana Ketenaganukliran dalam UU ini mengingatkan kita pada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS) yang sekarang digantikan (sementara) oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Apalagi dalam Pasal 10 undang-undang ini disebutkan bahwa "Produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh badan pelaksana".

Peran ini sama persis dengan peran BPMIGAS/SKK Migas yang menjadi lembaga tunggal kepanjangan tangan pemerintah untuk melakukan manajemen pengelolaan terhadap sumber daya alam minyak dan gas bumi. Selanjutnya diatur badan pelaksana ketenaganukliran ini dapat bekerja sama dengan BUMN, swasta dan/atau koperasi (sama dengan skema yang dianut oleh Undang-undang Migas).

UU Nomor 10 Tahun 1997 belum mengatur secara perinci bagaimana bentuk kerja sama dengan BUMN, swasta dan/atau koperasi nantinya. Apakah akan mengikuti pola production sharing contract (kontrak bagi hasil) migas atau model kontrak kerja sama yang lain namun yang pasti pemerintah akan mendorong/memilih agar badan pelaksana ini nantinya melakukan kontrak kerja sama dengan pihak lembaga non-pemerintah setidaknya guna memudahkan memenuhi prasyarat-prasyarat sebagaimana disebutkan di atas, terutama dalam hal pembiayaan, pengadaan, pembangunan dan pengoperasian PLTN.

Kalangan ahli dan lembaga riset di Indonesia mengusulkan agar pembangunan PLTN di Indonesia dimulai dengan reaktor ukuran kecil (small modular reactor) berkapasitas 10 MW sampai di bawah 100 MW yang banyak dikembangkan di negara-negara Rusia dan Amerika Serikat, sementara dalam RUPTL akan dibangun kapasitas 250 MW di Sumatra dan 250 MW di Kalimantan.

Kita lihat saja nanti karena persiapan-persiapan yang dibutuhkan masih sangat banyak dan butuh waktu yang panjang, namun setidaknya sudah ada good will berupa national position yang jelas dan tegas, meskipun di tengah-tengah nasib UU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang diharapkan bisa sebenarnya menjadi legal framework baru yang semakin memperkuat kontribusi EBET untuk kelistrikan nasional ternyata malah makin mirip iklan mobil diesel yang dulu sangat terkenal (yang saat ini sudah tidak diproduksi lagi): "nyaris tak terdengar..."


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |