Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Transformasi sektor energi Indonesia tengah memasuki babak baru. Target ambisius Net Zero Emission (NZE) 2060 dan hilirisasi industri energi menjadi narasi utama arah kebijakan pemerintah. Namun, di balik semua itu, persoalan paling krusial justru terletak pada kesiapan sumber daya manusia (SDM).
Menurut data Kementerian ESDM dalam forum Human Capital Summit 2025, Indonesia membutuhkan lebih dari 6,2 juta tenaga kerja baru di sektor energi hingga 2030. Kebutuhan ini muncul dari munculnya ratusan jenis pekerjaan baru, terutama di sektor energi baru terbarukan (EBT), hilirisasi mineral, dan digitalisasi infrastruktur migas dan kelistrikan.
Saat ini tercatat 3.746 jenis pekerjaan di sektor ESDM, dengan 487 di antaranya adalah jenis baru yang belum banyak tersedia di sistem pendidikan nasional. Gap ini menimbulkan risiko serius: investasi energi bisa melambat karena kurangnya tenaga terampil.
Benchmark Global: Kita Tertinggal
Studi IRENA (International Renewable Energy Agency) menunjukkan bahwa China dan Jerman telah menyiapkan peta jalan pelatihan SDM energi hijau sejak awal dekade 2010-an.
• China, misalnya, pada tahun 2023 telah memiliki lebih dari 4,7 juta tenaga kerja di sektor EBT, didukung oleh kebijakan pendidikan vokasi dan on-the-job training skala nasional.
• Jerman memanfaatkan sistem dual-vocational (kombinasi teori dan praktik langsung di industri), menghasilkan lebih dari 300 ribu teknisi energi bersertifikat per tahun.
• India, melalui Skill Council for Green Jobs, melatih lebih dari 100 ribu orang per tahun khusus untuk tenaga surya dan bioenergi.
Sementara itu, Indonesia baru mulai menyusun dokumen kebijakan SDM untuk transisi energi pada 2025. Meski terlambat, masih ada waktu untuk mengejar-dengan syarat ada langkah konkret yang kolaboratif.
Tantangan Internal: Ketimpangan dan Ketidaksesuaian
Tantangan kita tidak hanya terletak pada kuantitas, tapi juga kualitas dan distribusi. Mayoritas tenaga kerja kita masih bertumpu pada keterampilan konvensional, padahal industri migas dan energi kini bergerak ke arah automation, AI-based control, dan sistem energi terdesentralisasi.
Selain itu, banyak daerah penghasil energi-seperti Kalimantan, Sumatra, dan Papua-justru mengalami kekurangan tenaga teknis lokal. Ini menandakan ketimpangan akses pendidikan vokasi dan minimnya integrasi antara program pelatihan dan kebutuhan industri setempat.
Peluang: Bonus Demografi dan Digitalisasi
Meski tantangannya besar, peluang yang dimiliki Indonesia juga tak kalah besar:
1. Bonus Demografi
Indonesia memiliki populasi usia produktif yang mendominasi hingga 2035. Ini adalah modal sosial untuk membentuk "generasi energi baru" yang siap mendukung industrialisasi dan transisi energi.
2. Teknologi Digital
Adopsi e-learning, remote training, dan IoT-based monitoring memungkinkan pelatihan teknis menjangkau wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Transformasi digital juga memungkinkan efisiensi pelatihan tenaga kerja berbasis proyek.
3. Dukungan Mitra Internasional
Lewat kolaborasi dengan GIZ (Jerman), JOGMEC (Jepang), hingga mitra seperti IEA dan IRENA, Indonesia dapat mempercepat adopsi kurikulum global dan skema sertifikasi tenaga kerja.
Rekomendasi Strategis: Dari Wacana ke Aksi
Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai poros energi bersih dan industri hilir global, berikut langkah strategis yang perlu segera dilakukan:
• Integrasi kurikulum transisi energi ke dalam sistem pendidikan nasional, mulai dari SMK hingga politeknik dan universitas.
• Pembentukan National Energy Workforce Council untuk menyelaraskan pelatihan tenaga kerja dengan kebutuhan proyek strategis nasional.
• Reformasi sistem sertifikasi tenaga kerja energi agar terstandar internasional.
• Insentif fiskal bagi industri dan perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan tenaga kerja lokal.
• Kolaborasi aktif antara BUMN energi, swasta, dan asosiasi seperti HIPMI dalam pengembangan SDM lokal di daerah penghasil energi.
Penutup
Pembangunan infrastruktur, teknologi hijau, dan kebijakan energi tidak akan berjalan tanpa manusia yang mengeksekusinya. SDM bukan pelengkap dari transisi energi, melainkan fondasinya. Jika tidak dibangun sekarang, kita hanya akan menjadi pasar dari revolusi energi yang sedang terjadi. Tapi jika dikelola dengan tepat, SDM kita bisa menjadi aset paling strategis menuju Indonesia Emas 2045-berdaulat energi, berdaulat masa depan.
(miq/miq)