RUU Pangan: No Farmer, No Food, No Future

3 days ago 17

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pangan adalah setengah problem bangsa. Jika kita bisa menyelesaikannya, maka bangsa kita siap melaju sejahtera.

Produsen pangan utama dunia, mulai dari protein sampai karbohidrat, sebanyak 90% adalah petani kecil, bukan konglomerasi atau raksasa bisnis pangan. Produsen yang selalu tidak mendapatkan keadilan dalam siklus bisnis pangan yang menguntungkan.

Pangan, petani, dan kesejahteraan selalu bergandengan tidak seimbang. Ada anomali sepanjang masa yang menunjukkan "kegagalan" harmoni untuk bisa menghadirkan keseimbangan.

Inilah pekerjaan berat dunia global untuk menata rantai hulu hingga ke hilir agar menjadi irama yang enak didengar. Pangan tersedia, petani bahagia, masa depan dunia terjaga? Mungkinkah bisa?

Petani "Berdasi"
Petani di negara maju identik dengan kesejahteraan. Profesi yang dihargai dan penting diperhitungkan bagi pemerintah, mitra strategis untuk bekerja sama menjaga kedaulatan bangsa.

Jepang menghargai petani mereka dengan utuh. Mulai subsidi produksi sampai gagal panen pun dilindungi agar petani tetap bahagia.

Amerika Serikat menjadikan petani penerima subsidi besar dari APBN. Akibat perang dagang China vs AS, Presiden AS Donald Trump memberikan subsidi hulu-hilir sampai Rp 216 triliun. Petani adalah basis pendukung Trump di Negeri Paman Sam. Untuk itu, penting agar harga terjaga dan bisa terus meningkatkan ekspor mereka.

China juga mendeklarasikan bahwa pertanian adalah pondasi dasar ekonomi mereka. Bagi China, melindungi pertanian sama dengan melindungi negara mereka sendiri dan petani dari ancaman kemiskinan serta menjanjikan masa depan yang lebih baik. Artinya kesejahteraan petani menjadi kunci bagi Negeri Tirai Bambu untuk pondasi pangan mereka tidak goyah. China merupakan salah satu pemain kunci pertanian global.

Jepang, China, dan AS sadar betul bahwa petani menjadi soko guru bagi keberlanjutan ekonomi mereka. Petani sebagai produsen pangan di hulu harus kuat dan sejahtera. Produksi karbohidrat dan protein mampu mereka hasilkan dengan dukungan pemerintah yang kokoh dalam bentuk kebijakan anggaran dan politik.

Petani Indonesia juga punya prestasi level dunia. Pada tahun 1984, Indonesia bisa swasembada beras yang diakui oleh FAO. Saat ini, petani menjadi pahlawan pangan yang terus diingat sampai saat ini. Narasi petani berdasi nampaknya hadir di sawah dan ladang sampai rumah petani, artinya ada kesejahteraan yang menghadirkan kepastian akan masa depan.

Apakah petani Indonesia berdasi? Sejarah sudah pernah membuktikan. Waktunya saat ini memberikan injeksi kepada negara dan petani agar optimis dan yakin bahwa petani bisa "berdasi" ke sawah sambil naik motor dan mobil.

Tercatat ada sekitar 8% petani usia muda atau sekitar 2,6 juta yang mampu digerakkan dengan skema yang harus kuat. Berikan mereka gaji, asuransi, subsidi, lahan dan alsintan dengan anggaran minimal 10% dari APBN atau sekitar Rp 300 triliun.

Insya Allah pertanian Indonesia akan menjadi Raja Pangan di tataran global mulai hulu - hilir. Kalau sungguh-sungguh kita bisa lakukan dalam waktu 5-10 tahun, tepat Indonesia Emas 2045, petani Indonesia sejahtera.

Pangan Dunia
Program MDGs gagal mengatasi kelaparan pangan global. Terdapat sekitar 1 miliar penduduk bumi yang terancam kelaparan dan bahkan banyak kematian karena kelaparan global. Target SDGs ke-2 pada tahun 2030 mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan gizi, mendorong pertanian berkelanjutan.

Artinya dunia gagal mengatur perputaran pangan global. Adanya perang dan ketidakpastian global membuat negara produsen pangan berprinsip tahan pangan untuk mereka sendiri. Kegagalan global distribusi pangan mengakibatkan harga pangan dunia naik, ketersediaan menurun, dan permintaan tinggi.

Komoditas pangan berubah menjadi komoditas politik yang sering merugikan petani. Pangan sebagai instrumen dasar manusia berubah menjadi senjata mematikan untuk menguasai bahkan "menjajah" suatu negara atas nama impor sedangkan produsen utamanya, yaitu petani masih tetap miskin dan menderita.

Globalisasi pertanian yang ditandai dengan perdagangan pangan yang semakin liberal, perang dagang skala global, menurunnya lahan pertanian, kenaikan harga produksi pertanian, sumber daya manusia yang langka, mekanisasi membuat negara agraris yang tidak siap akan terlindas dan hilang. Tidak ada keadilan dan harmonisasi produsen dan pemain pangan global, akhirnya kembali petani kecil sebagai penyedia 90% pangan global akan termarginalkan.

Pemasok pangan terbesar di dunia adalah negara-negara yang memproduksi jumlah beras terbanyak, dengan China, India, dan Indonesia di posisi teratas. China memproduksi 28% dari total produksi beras dunia pada tahun 2023/2024. India dan Indonesia juga menjadi produsen beras besar, masing-masing dengan 20% dan 6% dari total produksi dunia.

Pangan dunia sebenarnya dikendalikan oleh tiga negara saja, Indonesia termasuk di dalamnya. Tapi sejauh mana memberikan dampak kesejahteraan bagi petani kita? Belum terasa. Petani masih menjadi profesi yang tidak menarik bagi anak muda dan masa depan mereka.

RUU Pangan bisa menjadi entry point menjadikan petani aktor utama pembangunan dengan mewajibkan negara menyerap sarjana pertanian, peternakan, perikanan kelautan sebagai pemain utama di hulu sampai hilir sektor pertanian dalam arti luas, menjadi aktor penyedia pangan global.

Pangan dan kesejahteraan
Ketidakpastian global urusan pangan harus diakhiri dengan bersandar kepada produksi dalam negeri. UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja mengamanatkan pangan bisa dipenuhi dalam negeri ataupun luar negeri (impor). RUU pangan harus mengembalikan muruah petani dengan produksi dalam negeri yang utama. Kesadaran inilah yang nampaknya dipahami betul oleh Presiden Prabowo Subianto yang menjadikan Swasembada Pangan sebagai motor utama pemerintahan saat ini.

Tidak cukup swasembada pangan, namun petani miskin. Kita harus pastikan swasembada petani sejahtera. Berikan rasa nyaman dan aman kepada keluarga petani, berikan beasiswa anak petani kuliah sampai sarjana bahkan cetak para doktor dan profesor pertanian, perikanan dan kelautan dengan riset-riset penting tentang pangan untuk 20 tahun ke depan.

Pastikan riset dan realisasi antara akademisi dan industri berjalan. Hilirisasi sektor pertanian perikanan jangan dijadikan seminar, pastikan hadir dengan anggaran serta aksi besar.

Siapa yang menguasai pangan, maka dia akan menguasai masa depan. Petani sebagai aktor utama dan produsen pangan harus diutamakan. Kehadiran pangan bergizi di meja keluarga akan memastikan lahirnya generasi emas 2045, pasokan pangan yang merata di tataran global akan mengurangi konflik dan bisa jadi keseimbangan pangan global akan tercapai.

RUU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang akan disempurnakan oleh legislatif dan eksekutif bisa menjadi harapan akan lahirnya keadilan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia dan hadirnya kesejahteraan bagi petani Indonesia. Meminjam istilah Profesor Bayu Krisnamurthi: No Farmer, No Food, No Future.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |