Jakarta, CNBC Indonesia - Deindustrialisasi dini yang terjadi di Indonesia selama 10 dekade terakhir mulai menunjukkan efek samping pada pelemahan ekonomi kuartal I-2025 yang tak lagi mampu secara tahunan tumbuh di atas 5%. Meski begitu, masih ada harapan untuk memperbaiki masalah deindustrialisasi dini RI.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf mengatakan, sebetulnya deindustrialisasi dini di Indonesia belum sampai ke tahap yang sulit diobati, sehingga masih ada ruang untuk perbaikan cepat ke depannya.
"Deindustrialisasi prematur di Indonesia itu belum sampai parah banget, istilahnya baru stalled industrialization," ucap Arief dalam program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Jumat (11/7/2025).
Sebagaimana diketahui, deindustrialisasi dini terlihat dari distribusi industri pengolahan atau manufaktur terhadap PDB yang merosot satu dekade terakhir seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di level 5%.
Pada 2014 distribusi industri pengolahan terhadap PDB menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) masih mampu mencapai 21,02%. Namun, pada 2019 tersisa 19,7%, dan pada 2023 kian merosot menjadi 18,67%. Pada 2024 sedikit naik menjadi 19,13%, dan berlanjut ada perbaikan hingga kuartal I-2025 yang sebesar 19,25%.
Oleh sebab itu, yang menjadi fokus pemerintah saat ini ialah untuk mengembalikan lagi besaran porsi industri manufaktur. Industrialisasi yang sempat gencar dilakukan melalui hilirisasi satu dekade lalu harus diarahkan untuk industri padat karya, karena sebagai faktor utama penciptaan lapangan pekerjaan yang layak dari sisi upah maupun produktivitas.
"Karena industrialisasi itu, atau manufacturing, meningkatnya aktivitas ekonomi yang berbasis manufaktur, itu dia menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi untuk pekerjanya, formal job itu create dari itu dulu, ketika di tahun 90an. Itu yang membuat kita ekonominya bahkan bisa 8%, mendekati 8% lah," tegas Arief.
Arief mengungkapkan, deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia selama 10-20 tahun terakhir pun dipicu oleh transformasi struktural yang salah arah. Bila dulu lapangan kerja beralih dari agrikultur ke manufaktur menyebabkan produktivitas meningkat hingga turut mendongkrak pendapatan, kini malah banyak beralih dari manufaktur ke sektor perdagangan atau trade.
Artinya, banyak perusahaan di Indonesia saat ini yang hanya menjual dagangan hasil produksi dari industri luar negeri, namun tidak memproduksi barangnya sendiri. Padahal, nilai produktivitas sektor perdagangan ini kata dia adalah rangking kedua terbawah setelah sektor agrikultur sebagai penyumbang lapangan kerja dengan produktivitas rendah.
"Jadi kalau orang pindah dari agrikultur, ranking satu produktivitas terbawah, pindah ke manufakturing, itu akan menjadi peningkatan pendapatan. Sekarang yang terjadi, selama 10-20 tahun terakhir, kebanyakan orang pindah dari agrikultur ke trade. Yang ranking satu terbawah, pindah ke ranking dua terbawah. Jadi enggak terangkat ekonominya," ucap Arief.
Menurut Arief, sektor perdagangan mayoritas berisi usaha atau lapangan kerja informal, termasuk sektor jasa. Dengan demikian, otomatis upah tenaga kerjanya juga tidak layak.
"Jadi pekerjaan layak kita lama-lama berkurang, dan ini terjadi di hampir semua segmen masyarakat. Di kelas menengah juga, di kelas-kelas eksekutif, kelas profesional, kayak agak susah mendapatkan pekerjaan pekerjaan yang layak," tegas Arief.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Riset LPEM UI: Ekonomi RI Melambat, Industri Melemah