Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87% (yoy), jauh di bawah tren normal di kisaran 5%. Ini menjadi sinyal melemahnya tiga motor utama penggerak ekonomi: konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.
Kondisi ini diperparah oleh ketidakpastian global akibat perang dagang yang dipicu Presiden AS Donald Trump. Kebijakan tarif resiprokal terhadap barang dari mitra dagang utama, termasuk Indonesia, mencapai 32%, menekan aktivitas ekspor nasional.
Di dalam negeri, konsumsi rumah tangga yang biasanya terdongkrak oleh Ramadan dan Lebaran hanya tumbuh 4,89%-terendah dalam lima kuartal terakhir. Investasi dalam bentuk Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya naik 2,12%, terendah dalam dua tahun, sementara ekspor tumbuh 6,78%, melambat dibanding kuartal IV-2024 yang mencapai 7,63%.
Ironisnya, belanja pemerintah yang seharusnya menjadi penopang justru ikut melemah, terkontraksi hingga -1,38%. Padahal, pada kuartal sebelumnya tumbuh 4,17%, dan bahkan 19,9% pada kuartal I-2024 karena belanja Pemilu.
Negara Harus Hadir Saat Permintaan Melemah
Ekonom senior dan Guru Besar Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menegaskan pentingnya peran negara dalam menciptakan permintaan saat sektor swasta melemah. "Strategi ini bukan pilihan ideologis, melainkan kebutuhan ekonomi. Dalam pendekatan Post-Keynesian, permintaan menciptakan pendapatan, bukan sebaliknya. Maka ketika permintaan melemah, negara wajib menyalurkan likuiditas ke sektor riil," kata Syafruddin.
Ia menekankan perlunya memperkuat transfer sosial, mempercepat proyek infrastruktur padat karya, dan menyalurkan bantuan langsung kepada kelompok berpendapatan rendah. Menurutnya, keterlambatan eksekusi anggaran hanya akan memperlebar kesenjangan output dan memperlambat pemulihan.
"Defisit fiskal bukan ancaman selama digunakan untuk menjaga kesejahteraan, memperkuat infrastruktur sosial, dan meningkatkan produktivitas nasional," tegasnya.
Dunia Usaha: Relaksasi Pajak Terbukti Efektif
Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam, mengamini pentingnya belanja negara dan insentif fiskal. Ia mencontohkan keberhasilan relaksasi pajak saat pandemi Covid-19. "Waktu Covid kan kita punya pengalaman pemerintah mengeluarkan relaksasi. Dan pengalaman kita ya, terutama di sektor otomotif itu waktu dikasih relaksasi malah tax revenue-nya naik," ujar Bob, yang juga Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia.
Saat itu, pemerintah memberikan berbagai insentif seperti PPh 21 DTP, PPh final UMKM DTP, PPnBM mobil DTP, hingga PPN rumah dan mobil listrik DTP.
Pajak Tinggi Bisa Kontraproduktif
Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menekankan bahwa pemotongan pajak dapat mendorong konsumsi dan investasi. "Karena tax cut akan menaikkan disposable income, kemudian juga akan membuat insentif dunia usaha untuk invest, maka investment-nya juga akan naik," ujarnya.
Pernyataan ini sejalan dengan teori Kurva Laffer yang menunjukkan bahwa tarif pajak yang terlalu tinggi justru bisa menurunkan penerimaan negara karena menekan aktivitas ekonomi.
Dalam konsepnya, kenaikan tarif pajak atau cukai secara ekstrem justru tidak meningkatkan penerimaan negara, melainkan sebaliknya. Tarif yang terlalu tinggi akan melemahkan ekonomi, karena berpengaruh terhadap daya beli masyarakat dan investasi. Pelemahan ini yang kemudian bisa menekan penerimaan negara.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, menilai teori ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Saat tarif dinaikkan secara agresif, justru muncul gejala kontraksi aktivitas ekonomi, penurunan kepatuhan, dan pertumbuhan ekonomi yang tidak sebanding dengan ekspektasi fiskal.
"Artinya, kebijakan tarif atau cukai berpotensi telah melewati titik optimal dalam kurva Laffer untuk sektor-sektor tertentu, terutama yang sensitif terhadap harga seperti rokok atau konsumsi masyarakat bawah," jelas Rizal.
"Akibatnya, alih-alih menambah penerimaan, negara justru menghadapi kontraksi pendapatan. Selain itu, mengindikasikan kebijakan sudah mulai memasuki zona risiko tersebut, terutama pada sektor cukai hasil tembakau," ujarnyanya.
Dorongan untuk Kebijakan Fiskal Ekspansif
Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, menegaskan bahwa peningkatan penerimaan pajak tidak bisa hanya mengandalkan penarikan semata. "Upaya mendorong penerimaan pajak tidak bisa hanya dibebankan pada sisi penarikan semata, tetapi juga harus disertai dengan strategi mendorong pemulihan ekonomi secara keseluruhan."
Senada, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Hanif Dhakiri, mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah fiskal yang ekspansif. "Negara seharusnya hadir saat pasar melemah, bukan justru tertahan oleh proses birokrasi dan perencanaan yang tidak sigap. Ini soal ketepatan dan kecepatan eksekusi belanja," tegas Hanif.
Ia mendorong penguatan belanja produktif, percepatan insentif sektor riil, serta kebijakan yang mendukung konsumsi domestik dan penciptaan lapangan kerja.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Warga Indonesia Harus Siap-Siap Tabah, 2025 Bisa Jadi Tahun Sulit