Pengembangan Teknologi Pertahanan Melampaui Alih Teknologi

1 week ago 7

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia mengembangkan industri strategis sejak pertengahan 1970-an dengan mengadopsi pendekatan reverse engineering yang dikenal dengan filosofi "Berawal di Akhir, Berakhir Di Awal". Dalam implementasinya, filosofi tersebut diterjemahkan dalam tiga fase, yaitu alih teknologi, pengembangan bersama dan pengembangan mandiri.

Apabila memperhatikan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, aturan tersebut masih mengadopsi tiga tahap pengembangan industri strategis ala Orde Baru lewat sejumlah pasal, yakni Pasal 43 dan Pasal 48. Kini menjadi pertanyaan tentang bagaimana pelaksanaan alih teknologi, pengembangan bersama dan pengembangan mandiri di tengah ambisi membangun kemandirian industri pertahanan Indonesia.

Kegiatan alih teknologi yang selama ini dilaksanakan merupakan konsekuensi program akuisisi sistem senjata oleh Kementerian Pertahanan yang mewajibkan adanya skema kandungan lokal dan offset. Terdapat sejumlah kegiatan alih teknologi yang dinilai berhasil, akan tetapi ada pula aktivitas yang dinilai gagal, di mana kesuksesan atau ketidakberhasilan ditentukan oleh sejumlah faktor internal dan eksternal Indonesia.

Masih terdapat juga berbagai kegiatan alih teknologi yang sampai sekarang belum berjalan disebabkan oleh kontrak pengadaan belum efektif. Namun apakah dalam kegiatan alih teknologi yang telah dan akan dilaksanakan mencakup pula teknologi kunci seperti teknologi-teknologi yang terkait dengan rudal, hal demikian masih diragukan.

Program pengembangan bersama teknologi pertahanan dalam 14 tahun terakhir yang ada yang dinilai sukses, namun ada pula yang dinilai gagal. Yang dimaksud dengan program pengembangan bersama ialah suatu kegiatan desain dan produksi suatu sistem senjata baru yang dilakukan oleh industri pertahanan Indonesia dan mitra luar negeri.

Pengembangan bersama tank medium antara PT Pindad dan FNSS dipandang sebagai kegiatan yang berhasil, namun belum diikuti dengan pesanan dalam jumlah banyak agar program tersebut memenuhi skala keekonomian dalam jangka panjang. Program KFX/IFX tidak dapat dinilai sukses dari perspektif Indonesia, walaupun kegiatan tersebut memberikan pengetahuan dan keterampilan baru mengenai desain pesawat tempur supersonik.

Mengenai kegiatan pengembangan mandiri untuk sistem senjata tidak terlalu banyak untuk kategori teknologi menengah dan teknologi maju. Program pengembangan mandiri saat ini lebih banyak pada wahana sistem darat dan sistem laut, seperti kendaraan angkut lapis baja dan kapal patroli.

Kecenderungan demikian dapat dipahami karena pada dasarnya Indonesia sudah menguasai teknologi rancangan bangun kedua wahana, walaupun perlu penyempurnaan agar produk yang dihasilkan memiliki kualitas dan kinerja yang lebih bagus di masa depan. Sedangkan untuk pengembangan sistem senjata seperti roket masih memerlukan proses menuju kematangan, selain komersialisasi roket tersebut di pasar pertahanan domestik.

Alih teknologi saat ini lebih intensif dibandingkan dengan kegiatan pengembangan bersama dan pengembangan mandiri. Hal demikian bukan saja karena kegiatan alih teknologi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan pengadaan sistem senjata dari luar negeri, tetapi juga disebabkan kebutuhan pembiayaan dari pihak Indonesia yang terlibat dalam kegiatan tersebut tidak besar dibandingkan dengan kegiatan pengembangan bersama dan pengembangan mandiri.

Namun perlu disadari bahwa terdapat hubungan langsung antara program alih teknologi dengan kapasitas fiskal pemerintah untuk membiayai impor sistem senjata dengan skema Pinjaman Luar Negeri. Dengan kata lain, dalam jangka menengah kesinambungan kegiatan alih teknologi ditentukan oleh kapasitas fiskal pemerintah di tengah naik turunnya rasio utang luar negeri terhadap PDB dan kebutuhan Rupiah Murni untuk beragam program domestik pemerintah.

Untuk tahun-tahun mendatang, sebaiknya pemerintah meningkatkan program pengembangan bersama sistem senjata dengan menggandeng mitra asing yang dapat diandalkan. Mempertimbangkan bahwa pemerintah tidak memiliki dana maupun komitmen jangka panjang untuk membiayai program-program mahal seperti jet tempur, ada baiknya pemerintah fokus pada pengembangan teknologi elektronika pertahanan.

Pemerintah dan industri pertahanan dapat menentukan prioritas teknologi elektronika apa yang hendak dijadikan obyek kerjasama dengan pihak asing, apakah terkait dengan radio, radar atau subsistem radar, data link, combat management system (CMS) atau lainnya.

Pilihan pengembangan bersama pada teknologi elektronika bukan saja dari aspek pembiayaan yang lebih murah dan jangka waktu pengembangan yang dapat lebih pendek daripada pengembangan wahana, tetapi pula karena kebutuhan aplikasi teknologi tersebut oleh TNI di tengah peran sentral teknologi elektronika dalam peperangan masa kini dan masa depan.

Saat ini terdapat program alih teknologi di bidang elektronika terkait dengan akuisisi 42 Rafale dan 13 radar GM400 Alpha oleh Indonesia, di mana alangkah baiknya bila aktivitas tersebut diubah menjadi kegiatan pengembangan bersama bila kewajiban offset sudah dipenuhi. Akan disayangkan jika kegiatan offset pengadaan Rafale dan GM400 Alpha selesai begitu saja tanpa ditindaklanjuti oleh Indonesia dengan bentuk kerja sama yang lebih maju yakni pengembangan bersama di bidang elektronika pertahanan dengan pabrikan Prancis.

Penting untuk diingat bahwa Indonesia membelanjakan sekitar US$11 miliar selama periode 2020-2024 bagi pengadaan beberapa sistem senjata dari Prancis, sehingga investasi tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh Indonesia secara optimal melalui kerjasama teknologi pertahanan yang melampaui offset. Bagaimanapun offset hanya langkah pertama untuk menguasai teknologi maju sehingga harus diikuti oleh langkah-langkah berikutnya guna mampu melakukan pengembangan mandiri di masa depan.

Begitu pula dengan pengadaan dua Scorpene Evolved yang kini menantikan aktivasi kontrak, di mana diharapkan sejumlah persentase dari nilai kontrak akan dikembalikan kepada Indonesia dalam bentuk alih teknologi. Terlepas dari program alih teknologi kapal selam Scorpene Evolved, sebaiknya Indonesia menjajaki kerjasama lebih lanjut dengan Naval Group dengan cakupan yang lebih luas untuk tahun 2030 ke atas.

Program tersebut bisa saja berupa pembentukan joint venture untuk maintenance, repair and overhaul kapal selam sehingga dapat membantu kapasitas galangan Indonesia di bidang itu. Potensi lain kemitraan ialah kerja sama desain kapal kombatan permukaan yang customize bagi kebutuhan Indonesia di masa depan.

Kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 27-29 Mei 2025 ke Indonesia hendaknya dimanfaatkan pula oleh Indonesia untuk memperluas kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertahanan. Indonesia perlu proaktif dalam memperluas kerja sama tersebut sehingga implementasinya bukan sekedar alih teknologi sebagai konsekuensi pembelian sistem senjata produksi Prancis oleh Indonesia.

Dengan Prancis menganggap Indonesia sebagai salah satu pasar penting industri dirgantara dan pertahanannya di kawasan Indo Pasifik, Indonesia sudah sewajarnya mendapatkan keuntungan timbal balik dari relasi pertahanan kedua negara. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan inisiatif Indonesia untuk meminta hal tersebut kepada orang nomor satu di Prancis.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |