PDIP yang Enggan Penulisan Ulang Sejarah Berdasar Story Pemenang

1 day ago 6
Jakarta -

Pemerintah menulis ulang sejarah Indonesia bersama sejumlah sejarawan atau akademisi. PDIP meminta penulisan ulang sejarah harus sesuai dengan fakta, bukan cerita dari sisi pemenang.

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengungkap ada 10 jilid penulisan ulang sejarah Indonesia. Pemerintah tak menggunakan istilah Orde Lama (Orla) dalam 10 jilid buku penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang dikerjakan.

Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mewanti-wanti penulisan ulang sejarah yang dilakukan oleh pemerintah. Djarot berpesan supaya penulisan sejarah sesuai dengan fakta bukan berdasar pada cerita mereka yang menang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu disampaikan Djarot setelah menghadiri upacara Hari Lahir Pancasila 1 Juni di halaman parkir Masjid At Taufiq, Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (1/6). Djarot mengulas Hari Lahir Pancasila yang sempat disebut bukan jatuh pada 1 Juni.

"Pemerintah waktu itu berdasarkan tulisan dari (eks Mendikbud) Prof Nugroho Notosusanto, mengatakan Hari Lahir Pancasila bukan 1 Juni, itu dilawan dan itu diluruskan oleh para sejarawan," kata Djarot di lokasi.

Djarot berharap penulisan ulang sejarah bukan memihak kepada siapa tokoh yang menang. Djarot menyebut penulisan sejarah perlu sesuai dengan fakta di lapangan.

"Maka dari pada itu untuk penulisan sejarah itu tolong benar-benar sesuai dengan fakta sejarah bukan 'his story' bukan story mereka yang menang, tapi betul-betul story cerita perjuangan bangsa kita ini," ungkapnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan jangan sampai penulisan ulang sejarah ditutup-tutupi. Djarot meminta agar penulisan sejarah dilakukan secara terbuka.

"Janganlah kemudian sejarah itu ditutup-tutupi, janganlah sejarah itu disimpang-simpangkan. Maka kita harus benar-benar ketika ada penulisan sejarah itu harus dilajukan dengan terbuka dengan terbuka," ujar Djarot.

Djarot juga menyikapi soal pemerintah tidak menggunakan istilah Orde Lama dalam penulisan ulang sejarah. Djarot menyerahkan hal itu ke ahli sejarah.

"Kalau Orde Lama, Orde Baru, kita serahkan ke ahli sejarah, masa pemerintahan Bung Karno Orde Lama kan gitu ya, masa pemerintahan Orde Baru masa sekarang ini orde apa? Orde Reformasi, nanti orde apa lagi? Itu bagian sejarah juga kan," imbuhnya.

11 Jilid Penulisan Sejarah Indonesia

Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Borobudur (Eva Savitri/detikcom) Menteri Kebudayaan Fadli Zon di kompleks Candi Borobudur. (Eva Savitri/detikcom)

Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkap ada 6 faktor yang membuat penulisan ulang sejarah Indonesia harus dilakukan. Fadli Zon mengungkapkan sejumlah judul dalam buku penulisan sejarah ini.

"Yang pertama adalah menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris, apalagi sekarang ini kita 80 tahun Indonesia merdeka sudah saya kira waktunya kita memberikan satu pembebasan total dari bias kolonial ini dan menegaskan perspektif Indonesia sentris," kata Fadli dalam rapat bersama Komisi X DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5) lalu.

Kedua, sejarah Indonesia akan ditulis ulang untuk menjawab tantangan terbaru. Alasan selanjutnya, untuk membentuk identitas nasional yang kuat.

"(Alasan keempat) menegaskan otonomi sejarah, sejarah otonom. (Kelima) kemudian relevansi untuk generasi muda," sebutnya.

"Dan (keenam) reinventing Indonesian identity," lanjut dia.

Fadli Zon juga mengungkap susunan buku penulisan sejarah ini. Terdapat 11 jilid termasuk dengan indeks. Berikut:
1. Sejarah Awal Nusantara
2. Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina
3. Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah
4. Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi
5. Respons Terhadap Penjajahan
6. Pergerakan Kebangsaan
7. Perang Kemerdekaan Indonesia
8. Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi
9. Orde Baru (1967-1998)
10. Era Reformasi (1999-2024)

Fadli Zon juga mengungkap alasan pemerintah tak menggunakan istilah Orde Lama dalam 10 jilid buku penulisan ulang sejarah Indonesia. Alasannya, selama ini pemerintah sebelum Orde Baru tidak pernah mengatakan sebagai Orde Lama.

"Jadi sebenarnya itu para sejarawan yang membuat ya, kalau kita lihat istilah Orde Lama, pemerintahan Orde Lama, tidak pernah menyebut dirinya Orde Lama, kalau Orde Baru memang menyebut itu adalah Orde Baru," kata Fadli seusai rapat di Komisi X DPR.

Fadli menuturkan perubahan istilah itu dilakukan agar perspektif yang digunakan dalam sejarah baru lebih netral dan inklusif. Perubahan istilah itu juga dinilai membuat konotasinya lebih positif.

"Jadi sebenarnya itu juga perspektif yang kita ingin membuat lebih inklusif, lebih netral," ungkapnya.

"Iya. Jadi kita justru lebih bagus kan, bener nggak? Yang menyebut Orde Lama itu siapa? Orde Baru ya kan?" tambahnya.

Saksikan Live DetikPagi:

(rfs/azh)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini


Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |