Krisis Populasi Makin Mencekam, Gara-gara Gak Punya Uang?

1 day ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Punya buah hati tentu jadi salah satu kebahagiaan terbesar bagi banyak pasangan. Tapi di zaman sekarang, kehadiran anak bukan lagi sesuatu yang mudah untuk direncanakan begitu saja.

Ada banyak hal yang membuat pasangan memilih untuk menunda, atau bahkan menghadapi tantangan tertentu. Mulai dari soal keuangan, kesiapan mental, hingga kondisi kesehatan yang memengaruhi perjalanan mereka menjadi orang tua.

Semua itu jadi bagian dari dinamika hidup berumah tangga yang semakin kompleks di era modern ini.

Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bertajuk "The real fertility crisis" yang rilis 10 Juni 2025 mengungkapkan persoalan internasional terkait tingkat kesuburan di dunia turun signifikan, ini mencatatkan rekor terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tingkat fertilitas global atau perbandingan antara bayi yang lahir dari satu perempuan terus turun setiap tahun, setidaknya dari data yang sudah ditarik selama setengah abad.

Pada 2024, tingkat fertilitas berada di 2,2, turun signifikan dibandingkan di era 1970 di posisi 4,8. Ini artinya, seorang ibu pada tahun 1970-an bisa punya 4-5 anak, tetapi di era modern saat ini seorang ibu secara rata-rata punya dua anak saja.

Data PBB menunjukkan proyeksi pada tahun 2100 tingkat fertilitas hanya akan sebesar 1,8. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pasangan di dunia untuk punya anak nanti-nya hanya bisa punya satu atau dua saja.

Tingkat fertilitas duniaFoto: UNFPA
Tingkat fertilitas dunia

Realisasi data tingkat fertilitas 2024 sebesar 2,2 dari data di atas, juga menunjukkan bahwa itu di bawah ekspektasi dari proyeksi sebelumnya yang rilis pada 2013 menunjukkan tingkat fertilitas seharusnya 2,4 pada tahun lalu.

Ini semakin menunjukkan bahwa laju penurunan tingkat fertilitas semakin cepat dari yang kita bayangkan dan yang memprihatinkan akan membawa krisis populasi semakin nyata.

Agar populasi tetap stabil dari generasi ke generasi batas minimum kelahiran anak setiap perempuan yang ditetapkan adalah sebesar 2,1.

Namun realita-nya, lebih dari 50% negara di dunia atau setara 131 dari 237 negara memiliki tingkat fertilitas di bawah ambang batas minimum.

Negara-negara ini mencakup semua kawasan dunia dan beragam tingkat pendapatan, mulai dari negara maju seperti Jepang dan Jerman, hingga negara berkembang seperti Tiongkok, Thailand, Iran, bahkan beberapa negara Afrika Utara.

Merujuk data World Population Prospects 2024, tren penurunan tingkat fertilitas ke bawah batas ini dimulai sejak sebelum 1994 dari negara-negara maju seperti AS, Kanada, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan merambah beberapa negara Eropa Barat.

Negara-dunia dengan tingkat fertilitas di bawah 2,1Foto: UNFPA
Negara-dunia dengan tingkat fertilitas di bawah 2,1

Ada banyak faktor yang menyebabkan pasangan sulit untuk mempunyai/menambah anak. Mulai dari keuangan sampai kesehatan.

Menurut survei UNFPA yang mewakili sepertiga dari populasi dunia dan mencakup beragam tingkat pendapatan dan fertilitas. Lebih dari 50% orang-orang menyoroti persoalan ekonomi.

Di zaman modern seperti sekarang, punya anak bukan cuma soal kesiapan mental dan cinta kasih. Ada satu faktor besar yang sering jadi pertimbangan pasangan sebelum punya buah hati: biaya hidup.

Dari awal kehamilan saja sudah butuh biaya. Pemeriksaan rutin ke dokter, vitamin ibu hamil, tes laboratorium, sampai proses persalinan yang bisa belasan hingga puluhan juta rupiah, tergantung fasilitas dan lokasi.

Belum lagi kalau harus menjalani program kehamilan seperti inseminasi atau bayi tabung, biayanya bisa melambung tinggi.

Kami memperkirakan dalam hitungan yang masih kasar, bisa saja lebih murah atau mahal bergantung pada kondisi ekonomi dan gaya hidup, untuk menghidupi satu orang anak saja butuh uang Rp700 juta - Rp1 miliar.

Selain soal biaya, satu tantangan besar lain yang sering luput dibicarakan adalah kesehatan reproduksi. Faktanya, berdasarkan survei, sekitar 24% pasangan menyebut masalah kesehatan sebagai alasan utama mereka belum atau sulit memiliki anak. Dan ini bukan hanya soal perempuan saja-laki-laki pun punya peran penting dalam isu ini.

Di zaman modern ini, makin banyak gangguan kesehatan yang memengaruhi kesuburan. Gaya hidup yang serba cepat, kurang olahraga, stres, hingga paparan polusi jadi penyebab diam-diam yang sering tidak disadari.

Buat perempuan, penyakit reproduksi yang kerap menghambat seperti PCOS (Polycystic Ovary Syndrome), Endometriosis, sampai kanker serviks.

Sebagai catatan saja, penyakit kanker serviks di Indonesia merupakan kanker nomor dua terbanyak yang terjadi pada perempuan.

Sementara itu, bagi laki-laki, masalah seperti jumlah sperma rendah, kualitas sperma buruk, atau gangguan hormonal semakin sering ditemukan-bahkan pada usia muda. WHO menyebutkan bahwa kualitas sperma global menurun lebih dari 50% dalam 40 tahun terakhir.

Persoalan terakhir datang dari ketakutan akan masa depan yang mendapat hasil survei 19%. Banyak pasangan muda sekarang bukan nggak mau punya anak, tapi takut akan masa depan yang serba nggak pasti. Isu-isu seperti resesi, harga kebutuhan pokok yang terus naik, sampai ancaman PHK jadi bayang-bayang yang nyata.

Di tengah tekanan itu, wajar kalau banyak yang memilih untuk berhati-hati dulu. Karena membesarkan anak bukan cuma soal hari ini, tapi juga tentang menjamin hidupnya besok.

Lebih dari itu, punya anak sekarang bukan sekadar keinginan, tapi juga soal mempersiapan mental, lingkungan, kesehatan tubuh, sampai finansial.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |