Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pertemuan BRICS yang diadakan awal Juli lalu menghasilkan poin penting seperti peningkatan tarif dagang oleh AS dan ketegangan Iran-Israel - keterlibatan besar AS. Hasil itu memicu respons Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang langsung menambah tarif kepada anggota BRICS sebesar 10%.
Ia beranggapan negara-negara tersebut telah berpihak pada anti-Amerika. Posisi Indonesia diragukan sebab tidak hanya menjadi kesalahan kalkulasi kebijakan, namun memunculkan ancaman ekonomi.
BRICS atau lebih dikenal BRICS+ merupakan forum ekonomi yang didirikan oleh Rusia dan China sejak 2009 dan berkembang di dua tahun terakhir ketika bergabungnya Iran, Arab Saudi hingga Indonesia. Dalam perspektif realis, BRICS adalah forum ekonomi yang mencoba menandingi forum Barat seperti G7 dan G20.
Namun, di sisi lain, BRICS adalah bentuk maupun cara kawasan negara berkembang dalam menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang rumit. Bahkan akhir-akhir ini, narasi terhadap BRICS juga dianggap sebagai forum geopolitik.
Di awal 2025, Indonesia resmi bergabung dengan BRICS. Meskipun kontroversi, Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan bahwa ini merupakan posisi politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas-aktif, di mana akan menekankan untuk berpartisipasi aktif di setiap forum.
Presiden Prabowo Subianto juga menegaskan bahwa ini adalah cara Indonesia untuk mengurangi konflik dan lebih memiliki untuk kerja sama. Ini adalah harapan Indonesia untuk berkompetisi di struktur global. Namun yang terjadi sebaliknya.
Politik Tidak Bebas dan Aktif
Selaras dengan prinsip bebas dan aktif yang diyakini oleh Sugiono untuk berpartisipasi di dalam BRICS, Indonesia justru melakukan sebaliknya. Radityo Dharmaputra, dosen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, berargumen bahwa Indonesia adalah pion BRICS yang tidak mampu menegakkan prinsipnya dengan benar.
Alih-alih berpartisipasi, Indonesia justru dilekatkan dengan aliansi Timur, terutama dengan Rusia dan China. Layaknya AS memandang China sebagaimana tercantum di dalam National Security Strategy (NSS), Indonesia juga akan dipandang sebagai bagian dari kekuatan revisionis.
Posisi Indonesia dalam poros global juga terlihat ketika Presiden Prabowo tidak "menegur" Presiden Putin mengenai invasinya ke Ukraina, dan lebih memilih diplomasi "basa-basi". Apalagi, Prabowo lebih memilih untuk menghadiri SPIEF 2025 dibandingkan ke forum G7.
Beban Bagi Hubungan Dagang Dengan AS
Indonesia, di awal, berharap Trump akan mengurangi persentase tarif dagang. Melalui pertemuan antara mitra bisnis Indonesia dan AS pada 7 Juli, pihak Indonesia telah sepakat untuk mengimpor produk produk minyak dan pertanian milik AS sebesar 34 miliar dolar.
Namun alih-alih memberikan "diskon" tarif, Trump justru menambahkan tarif. Ini tentu akan berimplikasi terhadap hubungan dagang kedua negara.
Di tahun 2024, Indonesia mengalami surplus sekitar 25,5 miliar dolar AS. Secara total, volume dagang kedua negara mencapai 38,3 miliar dolar, tentu angka tersebut jauh dari volume dagang Indonesia dan China.
Ekspor Indonesia ke AS senilai 28,1 miliar dolar AS dan impor sekitar 10,2 miliar AS; keduanya mengalami kenaikan persentase jika dibandingkan tahun 2023. Beberapa produk ekspor Indonesia akan terancam seperti mesin dan perlengkapan listrik yang menyumbang hampir 18% dan total ekspor dan pakaian rajutan yang menyumbang sekitar 8%.
Peningkatan tarif Trump diprediksi mencoba untuk mengurangi defisit dagang AS terhadap Indonesia. Namun tentu, bagian ini juga tidak lepas dari kondisi geopolitik dan posisi Indonesia di BRICS.
Perlu Jalan Keluar
Penambahan tarif Trump akan berlaku pada 1 Agustus 2025. Artinya, Indonesia masih ada waktu untuk melakukan negosiasi kepada pihak AS. Ini menjadi tugas berat.
Dalam pernyataannya, Trump mengungkapkan jika Indonesia ingin penurunan tarif dagang, ia harus membangun pabrik di AS. Secara kalkulasi bisnis, tentu permintaan ini akan menguntungkan AS. Indonesia tidak hanya harus mencari jalan keluar, namun juga harus menempatkan aktor negosiator dan gaya diplomasi yang berbeda sehingga mendapatkan hasil positif.
Langkah politik luar negeri Prabowo, dalam konteks BRICS, memang sejak awal dipertanyakan. Hingga saat ini, belum ada jawaban dari kalkulasi yang matang oleh pemerintah Indonesia untuk menjawab kenapa Indonesia bergabung dengan BRICS selain menjawab prinsip bebas-aktif. Ini adalah "dosa" Prabowo yang harus dibayar dengan masalah baru.
Bergabung Indonesia di BRICS adalah kesalahan berhitung dan perlu adanya rekalkulasi. Sejak era Joko Widodo, Indonesia memang belum tertarik untuk bergabung dengan BRICS. Selain secara internal BRICS memiliki masalah antar negara, tidak ada urgensi untuk Indonesia bergabung.
Selain mencari jalan keluar untuk masalah tarif, Indonesia juga memang seharusnya masuk ke OECD. Rancangan keanggotaan Indonesia terhadap organisasi tersebut dirancang pada tahun 2027.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) melaporkan bahwa menjadi anggota OECD akan lebih untung jika belajar dari Meksiko, Kosta Rika, dan Kolombia. Studi tersebut memperkirakan Indonesia akan menerima arus masuk investasi sekitar 87,7 miliar dolar di tahun 2028 atau setara dengan 0,1% dari PDB.
Keputusan peningkatan tarif oleh Trump adalah pukulan telak bagi Indonesia. Pemerintah seharusnya menjadikan peristiwa ini sebagai bahan untuk memperhitungkan posisi Indonesia dalam konstelasi politik luar negeri secara matang.
(miq/miq)