Jangan Sepelekan Ini! Ekonomi RI Sedang Tak Baik-Baik Saja

8 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan data pertumbuhan ekonomi RI kuartal I-2025 pada Senin (5/5/2025). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 merosot dari laju pertumbuhan kuartal IV-2024 yang sebesar 5,02%.

Dibanding kuartal I-2024, pertumbuhan ini anjlok cukup dalam, karena saat itu Indonesia masih mampu tumbuh 5,11%. Padahal, momen Ramadan dan Lebaran - yang biasanya menjadi pendorong ekonomi Indonesia - jatuh pada kuartal I-2025.

Penurunan ini tentu merupakan alarm bagi perekonomian Indonesia. Menurut Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, salah satu faktor utama perlambatan saat ini adalah kontraksi konsumsi pemerintah.

Luhut memastikan pemerintah sudah mengetahui permasalahan yang ada dan telah mengambil langkah untuk mengatasinya. Menurutnya, Presiden Prabowo akan bertindak untuk memperbaiki masalah ini. Ke depannya, dia mengatakan pemerintah akan melakukan percepatan belanja.

"Yang penting kita sudah tahu masalah, dan presiden sudah address bahwa kita akan perbaiki ini. Karena itu, percepatan belanja negara menjadi kunci," katanya di video yang diunggah di Instagram @luhut.pandjaitan, dikutip Rabu (7/5/2025).

Ia pun menyadari adanya permasalahan lain, yakni perlambatan konsumsi rumah tangga, investasi yang belum optimal dan tekanan ekspor akibat efek global, serta pertumbuhan wilayah yang belum merata

"Ini semua mengingatkan kita tentang pemerataan dan percepatan harus dijalankan secara simultan," tegasnya.

Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Prof. Arief Anshory Yusuf pun mengaminkan pernyataan Luhut. Menurutnya, lambatnya pertumbuhan ekonomi RI pada awal 2025 disebabkan oleh efisiensi anggaran.

Seperti yang diketahui, pada awal tahun Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 1 mengenai efisiensi anggaran pemerintah.

"Dulu DEN sudah mengingatkan turunnya, risiko turunnya government consumption akibat the so-called efisiensi ini," ujar Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Prof. Arief Anshory Yusuf kepada CNBC Indonesia, Senin (5/5/2025)

Dalam struktur ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) kuartal I-2025, konsumsi pemerintah memang menjadi satu-satunya yang mengalami kontraksi, dengan minus 1,38%.

Konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh 4,89% meski di bawah 5%, investasi atau PMTB tumbuh 2,12%, ekspor 6,78%, konsumsi LNPRT 3,07%, dan impor tumbuh 3,96%.

Meskipun, kontribusi konsumsi pemerintah ke PDB terbilang kecil, hanya 5,88%, bila dibandingkan konsumsi rumah tangga yang sebesar 54,53%, PMTB 28,03%, dan ekspor 22,3%.

Arief menegaskan, namun yang menjadi masalah efisiensi anggaran ini terjadi saat daya beli masyarakat tengah ambruk, padahal daya beli yang tercermin dari konsumsi rumah tangga lajunya telah melambat di bawah 5% sepanjang tahun lalu.

Terakhir kali pertumbuhan konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 5% terjadi pada kuartal III-2023, yakni sebesar 5,05%. Setelahnya, yakni pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47%, kuartal I-2024 tumbuh 4,91%, kuartal II-2024 sebesar 4,93%, kuartal III-2024 menjadi 4,91%, dan kuartal IV-2024 sebesar 4,98%.

"Ini saya kira harus jadi perhatian karena tidak semua elemen di pemerintah percaya daya beli konsumen melemah," ucap Arief.

"Padahal fakta-fakta sudah disodorkan oleh DEN dari mulai penurunan upah riil juga kenaikan share dari defensive consumption spending," tegasnya.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pun menjelaskan tanda-tanda gawat melambatnya pertumbuhan ekonomi RI semakin nyata.

Pertama, dalam catatan Indef, Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah tanpa lompatan industrialisasi menjadikan Indonesia rentan terhadap dinamika eksternal. Pasalnya, saat ini ketidakpastian global semakin meningkat dengan adanya tarif impor dari Presiden AS, Donald Trump.

"Pemerintah terlihat tidak cukup agresif dalam merespons tren perlambatan ekonomi global ini dengan strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing manufaktur berbasis teknologi tinggi," dikutip dalam keterangan resmi Indef, Jumat (8/5/2025).

Kedua, volatilitas harga komoditas menciptakan risiko ekonomi domestik "dual shocks" bagi Indonesia. Yakni satu sisi, positive revenue shock dari lonjakan harga batubara dan minyak mentah yang berpotensi menambah penerimaan devisa dan royalti, namun sifatnya temporer dan tidak inklusif. Sisi lain, negative margin shock dari anjloknya harga nikel dan CPO yang berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di daerah berbasis tambang dan perkebunan.

Ketiga, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2025 sebesar 4,87% merupakan ancaman stagnasi ekonomi. Indek menilai, pelemahan ini bukan sekadar akibat global, tapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural. Ketidakefisienan belanja fiskal, minimnya dorongan produktivitas sektoral, dan stagnansi investasi swasta masih 'wait and see'.

Keempat, investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah memperlihatkan bahwa daya dorong utama pertumbuhan lumpuh. Kelima, pemerintah terlihat masih belum berhasil mendorong sektor-sektor penting untuk hilirisasi, seperti manufaktur dan pertamabangan yang menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan nilai tambah besar dan berkelanjutan.

Keenam, suku bunga kebijakan (BI Rate), suku bunga SRBI, dan yield SBN naik mendorong migrasi likuiditas perekonomian mengarah pada aset-aset berimbal hasil tinggi.

"Situasi diperparah dengan kebijakan efisiensi anggaran yang 'kebablasan' sehingga semakin menyusutkan perputaran likuiditas di sektor riil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," tulisnya.

Selanjutnya, ketujuh, semakin lemahnya dukungan sektor keuangan bagi peningkatan aktivitas sektor riil yang ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini tercermin dari laju kredit Maret 2025 menurun ke 8,7%, sebelumnya di Februari tumbuh 9,7%. Padahal, pada Maret 2025 ada momentum Ramadhan dan Lebaran.

Kedelapan, pemerintah belum memiliki kebijakan optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal tepat sasaran, dan dukungan ekosistem industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Di saat ekonomi global sedang mengalami ketidakpastian, maka Indonesia perlu melihat potensi ekonomi domestik. Pemerintah juga perlu menguatkan fungsi stimulus fiskal yang berdampak langsung terhadap konsumsi, serta perlunya industri pengolahan mendapat dukungan dari berbagai sektor yang menjadi ekosistem industri," ujarnya.

Awas! Ekonomi RI Bisa Lebih Buruk

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mewanti-wanti besarnya tekanan ekonomi Indonesia ke depan, setelah data menunjukkan ekonomi pada kuartal I-2025 hanya tumbuh 4,87%.

Angka ini merosot jika dibandingkan dengan realisasi kuartal IV-2024 yang sebesar 5,02% dan bahkan anjlok lebih dalam dibanding pertumbuhan kuartal I-2024 sebesar 5,11%.

"Jadi kelihatannya ke depan masih agak lebih mengkhawatirkan lagi," kata Yose saat ditemui di sela acara Innovation Summit Southeast Asia 2025, Jakarta, dikutip Jumat (9/5/2025).

Ia menegaskan, ekonomi kuartal I-2025 sebetulnya telah ditopang faktor musiman yang bisa mendorong salah satu komponen terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni konsumsi rumah tangga. Namun, pertumbuhannya malah tak mampu naik ke level 5% seperti biasanya.

Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 54,53% terhadap ekonomi atau PDB Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mampu tumbuh 4,89% yoy, jauh lebih buruk dari kondisi empat kuartal tahun lalu yang memang sudah di bawah 5% di kisaran 4,9%.

Terakhir kali pertumbuhan konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 5% terjadi pada kuartal III-2023, yakni sebesar 5,05%. Setelahnya, yakni pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47%, kuartal I-2024 tumbuh 4,91%, kuartal II-2024 sebesar 4,93%, kuartal III-2024 menjadi 4,91%, dan kuartal IV-2024 sebesar 4,98%.

"Jadi itu juga sudah ditopang juga dengan Ramadan serta Lebaran. Tapi ternyata memang ada pelemahan seperti itu," tegasnya.

Aktivitas ekonomi Indonesia pada kuartal ke depannya, menurut Jose, akan semakin berat karena imbas dari perang dagang yang terjadi di tingkat global. Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif yang tinggi kepada mitra dagangnya, termasuk Indonesia sebesar 32%.

Oleh sebab itu, ia beranggapan, ekspor yang menjadi salah satu komponen penopang ekonomi Indonesia sebesar 22,3% pada kuartal I-2025 berpotensi semakin tertekan ke depannya, setelah Trump merealisasikan pengenaan tarif dagang resiprokalnya bila penundaan 90 hari sejak diumumkan awal April terlaksana.

"Jadi memang perlu pegangan lebih erat lagi, lebih keras lagi. Permasalahannya di dalam ekonomi kita internal sendiri itu tidak terlalu kelihatan menjanjikan," ucap Yose

"Kalau tahun 2008 atau 2012 ketika ada krisis itu Indonesia kan bahkan sempat disebut komodo dragon ekonomi. Komodo ekonomi karena kulitnya tebal, resilience gitu. Tetapi ternyata sekarang ini enggak terlalu seperti itu," tegasnya.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Alarm Bahaya Menyala! Ekonomi RI Tumbuh di Bawah Ekspektasi

Next Article Dunia Tahun Ini Kembali Gelap, Sri Mulyani: Tekanannya Bertubi-Tubi

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |