Investor Publik Sritex Gigit Jari, Duit Rp 1,19 T Terancam Hilang

4 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia — Nasib investor publik di emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) semakin terombang-ambing. Mengutip data Bursa Efek Indonesia, Kamis (22/5/2025), masyarakat menggenggam 39,89% saham SRIL. Jumlah itu setara dengan 8.158.734.000 saham atau Rp 1,19 triliun (asumsi harga saham Rp146).

Sebagaimana diketahui saham Sritex telah dihentikan perdagangannya sejak 18 Mei 2022. Setahun kemudian atau Mei 2023, BEI mengumumkan SRIL sebagai emiten dengan potensi delisting. Ketentuan bursa menetapkan delisting dapat dilakukan terhadap saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi sekurang-kurangnya 24 bulan terakhir.

Selain suspensi SRIL yang sudah mencapai lebih dari ketentuan yakni 24 bulan, SRIL memiliki masalah kesehatan keuangan akibat utang yang menggunung. Saat ini, Sritex menanggung defisit modal atau ekuitas negatif karena jumlah liabilitas yang lebih besar dari aset. 

Kemudian Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2024 resmi menolak permohonan kasasi yang diajukan SRIL atas putusan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Semarang.

Dengan putusan MA itu, status putusan hukum atas kepailitan Sritex atau SRIL pun inkrah alias berkekuatan hukum tetap.

Hal itu pun semakin menguatkan BEI untuk menendang SRIL dari Bursa. Terakhir pada Maret 2025, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman mengatakan tengah menunggu salinan resmi pailit dari perusahaan untuk selanjutnya dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari proses delisting. 

Terbaru, Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) 2014-2023 yang sekarang menjabat sebagai Komisaris Utama Iwan Setiawan Lukminto kemarin, Rabu (21/5/2025).

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung atau Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar membeberkan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari beberapa bank pemerintah daerah kepada PT Sritex Rejeki Isman Tbk dengan nilai total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga bulan Oktober 2024 sebesar Rp3.588.650.808.028,57 (Rp 3,58 triliun).

Kejagung juga telah menetapkan eks direktur utama Bank DKI Zainuddin Mapa dan Dicky Syahbandinata selaku pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) tahun 2020.

Dalam keterangan Kejagung, kredit yang diberikan Bank BJB dan Bank DKI saat ini masuk kategori kolektibilitas 5 atau macet. Aset perusahaan tidak bisa dieksekusi untuk menutupi nilai kerugian negara karena nilai lebih kecil dari nilai pemberian pinjaman kredit serta tidak dijadikan sebagai jaminan atau agunan.

Mengutip laporan keuangan Sritex per September 2024, perusahaan memiliki liabilitas sebesar US$1,6 miliar atau sekitar Rp 26,41 triliun (kurs Rp16.360), sedangkan ekuitasnya telah mencatatkan defisiensi modal sebesar -US$ 1,02 miliar.

Liabilitas SRIL didominasi oleh liabilitas jangka panjang, dengan perolehan sebesar US$1,48 miliar. Liabilitas jangka pendek tercatat sebesar US$133,84 juta.

Adapun utang bank menjadi salah satu pos paling besar yang menyumbang liabilitas jangka panjang SRIL, dengan nilai sebesar US$ 829,67 juta atau sekitar Rp 13,57 triliun (kurs Rp 16.360). Setidaknya terdapat 28 bank yang memiliki tagihan kredit jangka panjang atas Sritex.

Sementara itu, aset Sritex per September 2024 senilai US$ 594,01 juta atau setara Rp 9,69 triliun. Aset tidak tetap menyumbang US$ 426,77 juta dan aset lancar US$ 167,24 juta. Dengan demikian liabilitas Sritex jauh lebih besar dibandingkan dengan aset.

Setelah dinyatakan pailit, kurator saat ini tengah berupaya untuk melikuidasi aset Sritex untuk melunasi kewajiban-kewajiban perusahaan. Pasal 149 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40/2017 tentang Perseroan Terbatas mengatur mengenai pembayaran hasil likuidasi kepada pemegang saham. 

Akan tetapi dalam pasal tersebut pembayaran kepada pemegang saham dilakukan setelah perusahaan melunasi kewajiban kepada para kreditur atau pihak-pihak yang memberikan pinjaman. Lalu dalam Pasal 187 UU 37/2004 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, kewajiban kepada para kreditur dilaksanakan setelah perusahaan membayar upah pokok pekerja dan pajak negara apabila ada yang belum dibayarkan. 


(mkh/mkh)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Eks Bos Besar Bank DKI Terjerat Korupsi, Manajemen Buka Suara

Next Article Tumpukan Utang Sritex (SRIL) yang Menggunung di 28 Bank

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |