Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah meningkatnya angka pengangguran, sebagian besar Gen Z di China yang tidak bekerja kini justru dengan bangga menyebut diri mereka sebagai "rat people" atau "manusia tikus". Daripada mencari pekerjaan secara aktif, mereka memilih menghabiskan hari dengan tiduran, bermain ponsel, memesan makanan, dan nyaris tak meninggalkan tempat tidur.
Fenomena ini disebut sebagai bentuk protes diam-diam terhadap budaya kerja keras yang melelahkan (burnout) dan kondisi pasar kerja yang semakin sulit. Fenomena "rat people" ramai diperbincangkan di media sosial China seperti Weibo, RedNote, dan Douyin (TikTok versi China).
Seorang pengguna Douyin, @jiawensishi, menjadi populer karena membagikan video rutinitasnya sebagai "tikus rumah" yaitu bangun siang, doomscrolling sampai sore, rebahan sepanjang hari, lalu kembali tidur sebelum pukul 8 malam. Videonya meraih ratusan ribu likes dan menginspirasi banyak Gen Z lainnya.
"Saya bahkan tidak duduk di sofa. Saya bangun hanya untuk ke kamar mandi dan makan, lalu kembali ke kasur. Saya bisa hidup seperti ini seminggu tanpa keluar rumah," tulis salah satu komentar dikutip Fortune, Jumat (13/6/2025).
Yang lain menambahkan, "Saya lebih tikus lagi. Saya hanya makan sekali sehari dan sisanya rebahan."
Protes Sunyi terhadap Sistem
Fenomena ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 2021, Gen Z dan milenial muda di China juga melawan budaya kerja '996' (bekerja dari pukul 9 pagi sampai 9 malam, 6 hari seminggu) melalui gerakan "tang ping" atau "rebahan".
Kini, dengan julukan baru yang lebih satir, "rat people" menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan ekonomi dan harapan sosial. Mereka memilih berhenti sejenak dari perlombaan hidup yang melelahkan.
"Ini bukan soal malas. Ini tentang kelelahan arah hidup dan memilih keluar dari sistem demi kesehatan mental," ujar pelatih karier dan presiden Chartered Institute of Public Relations, Advita Patel dikutip dari Fortune.
Gen Z Global Hadapi Nasib Serupa
Fenomena ini tak hanya terjadi di China. Gen Z di negara lain seperti AS dan Eropa juga mengalami tekanan yang sama. Banyak yang memilih hidup sebagai NEET (Not in Employment, Education or Training) secara sukarela, atau menerapkan konsep bare minimum Mondays dan quiet quitting.
Data menunjukkan, lebih dari 4 juta Gen Z di AS saat ini menganggur. Di China, 1 dari 6 anak muda tak memiliki pekerjaan, menurut data Februari 2025.
Menurut pakar, meskipun "check out" dari dunia kerja bisa memberi ketenangan sementara, namun dalam jangka panjang bisa memperparah kondisi mental dan memperkecil peluang kerja.
"Yang perlu diingat, mengambil jeda bukan masalah, selama itu hanya sementara. Gen Z masih cukup muda untuk menemukan kembali arah hidup dan karier mereka," ujar psikoterapis Eloise Skinner.
Ia menyarankan agar masa jeda digunakan untuk mengeksplorasi minat dan mencari kembali semangat hidup. "Tanyakan pada diri sendiri: Apa yang membuat saya bersemangat? Masalah besar apa di dunia yang ingin saya bantu selesaikan?"
Skinner memperingatkan agar tidak memamerkan gaya hidup "rat people" di media sosial, karena bisa jadi bumerang saat melamar pekerjaan. "Rekruter bisa saja menilai sikap tersebut bertentangan dengan nilai perusahaan," kata ia.
Bagi yang siap kembali bekerja, mulailah secara perlahan. "Kamu tidak harus punya semua jawaban sekarang," kata Leona Burton, pendiri komunitas Mums in Business International. "Cukup lakukan satu hal positif setiap hari. Entah itu melamar pekerjaan paruh waktu, mulai usaha kecil, atau sekadar jalan pagi tanpa ponsel. Setiap langkah kecil berarti," ujarnya menambahkan.
Pesannya sederhana namun kuat: "Kamu tidak tertinggal, kamu tidak rusak, dan kamu tidak sendirian, tapi kamu tetap harus melakukan sesuatu dan berubah."
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kenali Child Grooming: Bahaya Tersembunyi yang Perlu Diwaspadai