Banyak Bos Pecat Karyawan Gen Z, Ada Fenomena Apa?

10 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Generasi Z kini mulai mendominasi angkatan kerja global, meski kehadiran mereka justru memunculkan tantangan baru bagi perusahaan. Sebuah studi terbaru dari perusahaan AS, Intelligent, menunjukkan, 75% perusahaan di Amerika Serikat tidak puas dengan karyawan Gen Z terbaru mereka, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012.

Enam dari sepuluh perusahaan bahkan mengaku telah memecat karyawan muda ini karena dinilai ingin pulang lebih cepat, masuk kerja lebih siang, meminta gaji terlalu tinggi, hingga memiliki kemampuan komunikasi yang buruk. Namun demikian, pendiri lembaga kesehatan mental ALLKND yang dipimpin oleh Gen Z, Milly Rose Bannister, menyebut narasi tersebut tidak sepenuhnya akurat. Ia justru menilai banyak anak muda yang memilih hengkang dari lingkungan kerja yang dianggap kuno dan tidak fleksibel.

"Saya baru saja berusia 28 tahun, dan sebagai Gen Z yang lebih tua, saya menyaksikan perubahan dunia kerja secara langsung," ujarnya seperti dilansir laman The Sydney Morning Herald, Jumat (16/5/2025).

"Bagi mereka, sukses dalam karier tak harus berarti kelelahan. Jika suatu pekerjaan tidak memberikan makna, otonomi, atau peluang berkembang, mereka akan mencari atau menciptakan yang lebih baik," ujarnya menambahkan.

Menurut Bannister, banyak perusahaan masih menganut aturan lama yang lebih fokus pada jam kerja daripada hasil. Ini pun membuat generasi muda merasa tidak relevan dan akhirnya kehilangan motivasi.

"Mereka justru unggul ketika diberikan tujuan yang jelas, kebebasan dalam bekerja, dan sistem kerja yang modern. Apalagi kini sudah terbukti bahwa fleksibilitas justru meningkatkan produktivitas, bukan menurunkannya," kata Bannister.

Ia menekankan, pendekatan seperti micromanagement, budaya kantor yang seremonial, dan aturan tanpa alasan hanya akan menjauhkan Gen Z. "Mereka tumbuh dengan akses tak terbatas ke informasi. Jika diberi kepercayaan, arahan yang jelas, dan fleksibilitas, mereka bisa melampaui ekspektasi," tuturnya.

'Kurang Akrab dengan Dunia Kerja Bukan Berarti Malas'

Direktur program di Torrens University Language Centre, yang memimpin tim lintas generasi dari Gen Z hingga Boomer, Jacqui Gueye mengaku melihat perlunya pendekatan baru dalam menghadapi pekerja muda ini.

"Gen Z memprioritaskan keseimbangan hidup dan kesehatan mental. Tapi ini sering disalahartikan sebagai kurang komitmen, padahal ini cerminan perubahan budaya kerja," jelasnya.

Gueye juga menyoroti Gen Z yang lebih terbuka pada keberagaman neuro, dan tidak percaya bahwa duduk di meja selama delapan jam adalah satu-satunya cara bekerja. "Kalau tugas bisa selesai dalam empat jam, kenapa tidak?"

Namun, salah satu tantangan utama adalah perbedaan antara gaya manajemen tradisional yang menekankan jam kerja, dan preferensi Gen Z yang lebih berorientasi pada hasil. Selain itu, gaya komunikasi digital Gen Z yang lebih memilih chat cepat melalui Teams atau pesan singkat dibanding email formal, sering disalahartikan sebagai komunikasi yang buruk oleh manajer dari generasi sebelumnya.

Butuh Umpan Balik Cepat dan Mentor

Gueye menambahkan, Gen Z terbiasa dengan sistem umpan balik instan dari media sosial. Ketika tidak merasa berkembang, mereka cenderung mencari peluang baru yang lebih sesuai dengan nilai mereka.

Cara terbaik untuk melibatkan Gen Z, kata ia, adalah dengan menetapkan ekspektasi yang jelas sejak awal, termasuk jam kerja, tenggat waktu, dan standar performa lengkap dengan penjelasan alasannya. "Mereka sangat menghargai pendampingan dan pengembangan karier. Pendekatan personal seperti coaching jauh lebih efektif dibanding manajemen top-down," ujarnya.

Kemampuan digital dan pola pikir inovatif mereka bisa jadi aset besar, terutama di bidang strategi media sosial, pemecahan masalah kreatif, dan efisiensi proses kerja.


(hsy/hsy)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Efek Domino Perang Dagang ke Bisnis Parfum Lokal

Next Article 6 dari 10 Perusahaan PHK Gen Z, Alasannya Terungkap

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |