Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Memperhatikan secara seksama belanja pertahanan sekitar US$ 40 miliar dari tahun 2010 hingga tahun 2024 yang menggunakan skema Pinjaman Luar Negeri (PLN), salah satu fakta menarik adalah lebih dari 90% dibelanjakan untuk pengadaan wahana (platform) seperti jet tempur, pesawat angkut, helikopter, kapal perang dan kendaraan lapis baja.
Hanya sebagian kecil porsi PLN yang dipakai bagi pengadaan subsistem seperti munisi, rudal dan suku cadang. Terdapat pula alokasi PLN dalam nominal yang kecil bagi kegiatan pemeliharaan dan perawatan sistem senjata yang saat ini telah menjadi aset TNI, seperti program perbaikan dan peningkatan kemampuan pesawat tempur. Pemakaian PLN bagi kegiatan pemeliharaan dan perawatan disebabkan oleh keterbatasan dana Rupiah Murni (RM) guna mendukung kegiatan tersebut.
Mengingat belanja pertahanan selama MEF 2010-2024 berfokus pada pengadaan wahana, bukan hal yang mengejutkan bahwa hal demikian dapat memengaruhi kesiapan tempur TNI. Sebagai contoh, apakah tercipta rasio yang seimbang antara jumlah F-16 yang dioperasikan dengan ketersediaan munisi dan rudal jet tempur tersebut?
Apakah ada perimbangan yang proporsional antara jumlah kapal fregat/korvet dan rudal dengan munisi dan rudal yang tersedia di arsenal? Merupakan fakta yang ironis bahwa meskipun terdapat program akuisisi rudal permukaan ke permukaan yang dibiayai oleh PLN, pengadaan diprioritaskan pada rudal yang tidak dibutuhkan oleh kapal kombatan yang saat ini menjadi andalan operasional TNI Angkatan Laut.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggambarkan bahwa selama implementasi MEF 2010-2024 masih terjadi kesenjangan antara kebutuhan operasional dengan prioritas belanja pertahanan. Pengadaan wahana dipandang lebih prioritas sebab hal demikian dapat dipamerkan kepada masyarakat maupun pihak asing guna memunculkan kesan bahwa kekuatan pertahanan Indonesia tidak dapat diremehkan.
Adapun akuisisi subsistem seperti munisi dan rudal tidak selalu dipandang prioritas sebab tidak akan mengirimkan pesan yang kuat layaknya wahana. Padahal kesiapan tempur suatu wahana bukan saja ditentukan oleh dukungan pemeliharaan dan suku cadang yang memadai, tetapi pula pada apakah wahana itu dilengkapi dengan munisi dan rudal dalam rasio yang proporsional.
Persoalan amunisi dan rudal adalah bagian dari kemampuan hard kill suatu wahana, sementara aspek soft kill tidak dapat diremehkan pula. Kemampuan peperangan elektronika antara lain ditentukan oleh kemampuan peralatan elektronika yang dimiliki guna menyerang sistem elektronika lawan maupun menghindari serangan elektronika musuh.
Kini ancaman peperangan elektronika semakin meningkat seiring integrasi peperangan elektronika dengan peperangan siber. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia memiliki data signature gelombang elektronika sistem senjata negara-negara lain di sekitarnya, termasuk kapal perang, pesawat tempur dan pesawat AEW&C yang melintas di wilayah Indonesia?
Salah satu kebutuhan operasional dalam MEF 2020-2024 yang gagal diwujudkan ialah pembelian pesawat AEW&C, sebab Penetapan Sumber Pembiayaan program tersebut dibatalkan. Perang India-Pakistan pada bulan Mei 2025 kembali menunjukkan peran vital pesawat AEW&C dalam perang udara, suatu hal demikian yang juga disadari oleh TNI Angkatan Udara.
Apakah kebutuhan operasional pesawat jenis itu akan menjadi prioritas belanja pertahanan hingga 2029 yang dibiayai oleh PLN? Apakah Indonesia akan melakukan akuisisi pesawat AEW&C yang sudah terbukti (proven) seperti Boeing atau Saab ataukah Jakarta akan memberikan kontrak kepada produsen yang belum terbukti dalam pengembangan pesawat AEW&C seperti Havelsan?
Kebutuhan operasional lainnya yang tidak dapat dilaksanakan pada MEF 2020-2024 adalah akuisisi pesawat transport/tanker yang dapat melayani pengisian bahan bakar di udara bagi semua jenis pesawat tempur Indonesia. Walaupun A400M yang dibeli oleh Indonesia dapat melakukan misi pengisian bahan bakar di udara, namun pesawat turboprop tersebut hanya mampu melayani jet tempur yang mengadopsi metode probe-and-drogue seperti Sukhoi Su-27/30, Hawk 100/200 dan nantinya Rafale.
Adapun metode pengisian bahan bakar di udara lainnya yaitu boom tidak dapat dilakukan oleh A400M, padahal F-16 menggunakan teknik tersebut agar dapat terbang lebih lama dan lebih jauh. Tentu menjadi pertanyaan apakah kebutuhan operasional untuk mempunyai pesawat transport/tanker yang bisa menggunakan metode probe-and-drogue dan boom sekaligus seperti A330 MRTT akan dikategorikan sebagai prioritas belanja pertahanan untuk periode 2025-2029 atau tidak?
Kebutuhan operasional lain untuk pembangunan kekuatan pertahanan masa 2025-2029 adalah pengadaan lanjutan Integrated Logistic System (ILS) Rafale. Dibutuhkan akuisisi paket ILS Rafale sebelum dasawarsa ini berakhir agar saat Dassault Aviation selesai menyerahkan 42 Rafale pesanan Indonesia pada 2030, sebagian besar jet tempur tersebut berada dalam kondisi siap terbang.
Tentu saja tidak elok bila di atas kertas Indonesia mempunyai 42 Rafale, akan tetapi kondisi nyata menunjukkan bahwa sebagian besar pesawat tempur tersebut tidak siap terbang karena isu keterbatasan suku cadang. Pertanyaannya ialah apakah pembelian lanjutan ILS Rafale akan menjadi salah satu prioritas belanja pertahanan atau tidak?
Begitu pula dengan akuisisi lanjutan munisi dan rudal untuk Rafale seperti munisi 30M791 kaliber 30 mm, rudal MICA ER, MICA RF dan Meteor. Tidak boleh dilupakan pula persenjataan untuk F-16, khususnya rudal AIM-120C-7 yang menjadi andalan untuk pertempuran udara jarak jauh.
Sekali lagi, perang India-Pakistan dua bulan silam menunjukkan bahwa pertempuran udara jarak jauh kini sudah menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari walaupun pertempuran udara jarak dekat masih akan terjadi. Apakah akan ada titik temu antara kebutuhan operasional di lapangan dengan prioritas belanja pertahanan sampai 2029?
Kesiapan operasional pesawat angkut pun penting untuk diperhatikan sebab semua pesawat tempur memerlukan dukungan pergerakan pesawat angkut. Dengan masuknya lima C-130J dan rencana penyerahan dua A400M pada November 2025 hingga Januari 2026, menjadi pertanyaan bagaimana dukungan ILS maupun kapasitas Indonesia memelihara kedua pesawat angkut dalam beberapa tahun ke depan.
Sebagai contoh, apakah pembelian spare engine Rolls-Royce AE2100DE dan Europrop TP400-D6 sudah masuk dalam prioritas belanja pertahanan, terlepas apakah akan menggunakan skema PLN atau RM. Demikian pula dengan pembangunan fasilitas seperti warehouse dan backshop bagi C-130J dan A400M, selain penyiapan sumberdaya manusia agar pemeliharaan dan perawatan kedua jenis pesawat sebagian besar dapat dilakukan oleh personel TNI Angkatan Udara.
Modernisasi kekuatan pertahanan melalui kegiatan pengadaan yang sebagian besar dibiayai oleh PLN adalah sebuah hal yang tidak dihindari karena beragam alasan. Alangkah baiknya bila dalam pelaksanaan aktivitas tersebut yang sebagian besar berupa akuisisi wahana diikuti pula dengan penyediaan anggaran yang memadai untuk mendukung aspek logistik dan persenjataan.
Penyediaan anggaran bukan saja untuk mendukung pembelian subsistem terkait wahana baru, tetapi juga guna mendukung kebutuhan operasional sistem senjata yang saat ini memperkuat TNI.
(miq/miq)