AI dan Kepemimpinan: Ilusi Netralitas dan Ancaman Otokrasi Algoritmik

1 week ago 6

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

"Sekali berarti sudah itu mati" - Chairil Anwar

Bait itu bukan sekadar nyanyian kematian. Ia adalah peringatan tentang harga sebuah keberanian dan keabadian makna dari setiap keputusan manusia.

Dalam konteks hari ini, keberanian untuk berpikir, mempertanyakan, dan menolak tunduk pada kenyamanan teknologis adalah bentuk lain dari perjuangan eksistensial. Terutama ketika yang kita hadapi bukan penjajah fisik, melainkan dominasi algoritmik yang bekerja dalam sunyi.

Di tengah gegap gempita transformasi digital, kita dihadapkan pada paradoks baru: kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang digadang-gadang sebagai alat bantu netral justru mulai menunjukkan kecenderungan ideologis.

AI, yang semula dianggap penolong manusia untuk bekerja lebih cepat dan efisien, perlahan menjelma menjadi penyaring kenyataan. AI bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga menentukan mana pertanyaan yang pantas diajukan.

Kasus respons AI Grok milik X (sebelumnya Twitter), yang menyebut teori konspirasi "white genocide" sebagai "nyata", bukan sekadar cacat teknis atau bug dalam sistem. Ini adalah alarm dini bahwa sistem AI, meski dibangun oleh data dan kode, tetaplah produk dari pilihan manusia-dan setiap pilihan menyimpan nilai, bias, dan arah kuasa.

Pemikiran Michel Foucault dalam tulisannya mengatakan pengetahuan tidak pernah netral. Dalam bukunya "Arkeologi dan Genealogi Pengetahuan", Foucault mengurai bagaimana struktur kekuasaan bekerja lewat normalisasi wacana.

Pengetahuan tidak hanya mencerminkan kenyataan, ia juga membentuk kenyataan. Dengan logika serupa, algoritma hari ini menjadi instrumen baru yang mendefinisikan mana yang "benar", mana yang "nyata", dan mana yang "layak diketahui".

AI, dalam model-model besar bahasa (large language models), dilatih dari jutaan dokumen publik. Pertanyaan mendasar yang harus kita renungkan siapa yang menyusun, memilah, dan membersihkannya? Itu bukan keputusan netral.

Ketika bias-baik rasial, politik, gender, atau ideologis-tertanam dalam dataset, maka hasil pemikiran AI akan mereproduksi kekuasaan yang mendasarinya. AI menjadi reproduktor narasi, bukan pengurai realitas. Bahaya ini menjadi nyata ketika sistem AI mulai masuk ke ranah pengambilan keputusan publik.

Pemerintah di berbagai negara mulai mengadopsi AI untuk memetakan kebijakan, menentukan skema bantuan sosial, bahkan merekomendasikan solusi penegakan hukum. Dengan kecepatan dan presisi tinggi, AI tampak menjanjikan efisiensi.

Jika posisi pengambil keputusan itu terbiasakan mengambil saran-saran AI, apakah tidak mungkin keputusan yang ditawarkan AI atas merdeka berpikirnya mesin tanpa mempertimbangkan keunikan manusia, dan menyeragamkan semua hal dalam angka dan probabilitas itu menjadi jebakan demokrasi masa depan?

Di sinilah relevansi pemikiran Immanuel Kant menjadi penting. Dalam esainya yang terkenal, "Was ist Aufklärung?", Kant menyerukan agar manusia keluar dari ketidakdewasaan berpikir dan berani menggunakan akalnya sendiri (Sapere Aude!).

Tantangan kita hari ini adalah bahwa ketidakdewasaan bukan lagi soal larangan berpikir, melainkan soal kenyamanan: kenyamanan mendelegasikan pikiran kepada sistem cerdas. Ketika keputusan diambil oleh sistem yang "lebih tahu", manusia tergoda untuk berhenti berpikir kritis.

Kepemimpinan yang tercerahkan, sebagaimana ditekankan Kant, lahir dari keberanian bertanya dan meragukan. Tapi jika pemimpin masa kini hanya mengandalkan AI sebagai pemandu arah tanpa kehati-hatian epistemik, maka yang lahir adalah birokrasi yang patuh pada algoritma, bukan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Kita harus menyadari bahwa AI bukan hanya alat teknis, tapi juga perangkat ideologis. Ketika algoritma mengatur apa yang kita baca, siapa yang kita percayai, dan bagaimana kita melihat dunia, maka AI telah menjadi "pemuka opini tak terlihat" yang bekerja dalam senyap.

Tanpa akuntabilitas, ini bisa menjadi bentuk baru dari otokrasi-bukan oleh manusia, tapi oleh sistem yang dibentuk manusia namun tak lagi diawasi manusia. Oleh karena itu, ke depan, kepemimpinan tidak boleh hanya terpaku pada narasi transformasi digital, tetapi harus memuat kehati-hatian filosofis dan kesadaran politik.

AI bisa menjadi alat emansipasi jika ditopang prinsip keterbukaan, inklusivitas, dan pengawasan publik. Pembiaran AI tanpa regulasi etis dan keterlibatan masyarakat, maka AI bisa menjadi alat dominasi halus yang menggantikan nalar manusia dengan efisiensi yang tidak selalu adil.

Masyarakat sipil, media, akademisi, dan tentu para pemimpin, harus sadar bahwa yang sedang kita hadapi bukan sekadar kemajuan teknologi, tapi juga pergeseran struktur kuasa.

Dan seperti kata Foucault, di balik setiap "wacana kebenaran" selalu ada kepentingan. Maka tugas kepemimpinan masa kini adalah menyeimbangkan manfaat AI dengan perlindungan atas kebebasan berpikir, otonomi manusia, dan keadilan sosial.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |