Jakarta, CNBC Indonesia — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi I perdagangan hari ini, Selasa (3/6/2025) ditutup turun tipis atau 0,01% dan bertahan di level 7.000-an.
Pada awal sesi I, IHSG sempat terperosok meninggalkan level psikologis 7.000-an. Akan tetapi IHSG kemudian berbalik arah hingga akhirnya menutup sesi I di level 7.064,21.
Sebanyak 272 saham naik, 317 tutup, 212 tidak bergerak. Nilai transaksi siang ini mencapai Rp 8,36 triliun yang melibatkan 15,35 miliar saham dalam 737.969 kali transaksi.
Mengutip Refinitiv, ada empat sektor yang berada di zona hijau hari ini, tetapi belum cukup kuat untuk mengerek IHSG ke atas. Sektor energi naik 1,03% dan properti 0,8%. IHSG dibawa turun oleh sektor teknologi yang turun 0,86%, utilitas -0,75%, dan kesehatan -0,59%.
Di tengah tekanan terhadap IHSG, sejumlah saham menjadi penopang indeks untuk bertahan di level 7.000.Saham Sinar Mas DSSAmenjadi pendorong utama IHSGdengan kontribusi 8,93 indeks poin.Saham emiten tambang ini naik 4,21% pada sesi I.
Sementara itu, saham yang menjadi pemberat utama IHSG adalah DCII yang berkontribusi -6,38 indeks poin. Saham emiten Otto Toto Sugiri tersebut turun 3,13%.
Lalu ASII dan BREN juga tercatat menjadi pemberat IHSG dengan sumbangsih masing-masing -3,56 indeks poin dan -2,85 indeks poin.
IHSG hari ini juga tertekan seiring dengan keluarnya dana asing. Pada perdagangan kemarin Senin (2/6/2025) net foreign sell mencapai Rp 2,81 triliun di seluruh pasar. Angka ini menambah tebal net sell asing yang sepanjang tahun berjalan telah mencapai Rp 48,01 triliun.
Adapun IHSG dalam tren negatif pada dua hari terakhir seiring dengan data-data ekonomi Indonesia yang menunjukkan pelemahan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada hari kemarin merilis data IHK periode Mei2025 yang menunjukkan angka deflasi secara month on month/mom 0,37%.
"Terjadi deflasi sebesar 0,37% ," kata Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (2/6/2025).
Secara historis, di setiap bulan Mei 2021-2023 mengalami inflasi karena bertepatan dengan momen Lebaran dan pasca Lebaran, sedangkan pada Mei 2024 dan Mei 2025 mengalami deflasi.
Kabar buruk lain datang dari penurunan signifikan surplus neraca perdagangan periode April 2025. Per April 2025, neraca perdagangan Indonesia masih surplus US$ 150 juta, seiring dengan kinerja ekspor yang tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, dan impor US$ 20,59 miliar.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, nilai neraca perdagangan per April 2025 ini juga menjadi yang terendah dalam kondisi surplus 60 bulan terakhir, atau sejak Mei 2020.
"Secara bulanan, surplus April 2025 ini terendah sejak Mei 2020," kata Pudji di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (2/6/2025).
Kemudian aktivitas manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi pada Mei 2025. Kontraksi memperpanjang tren negatif menjadi dua bulan beruntun,
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (2/6/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 47,4 atau mengalami kontraksi pada Mei 2025. Ini adalah kedua kali dalam dua bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.
S&P Global menjelaskan aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan baru yang bahkan lebih tajam dibanding April. Penurunan pesanan bahkan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.
(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Mau Libur Panjang, IHSG Lanjut "Semringah" Tapi Rupiah Melemah
Next Article Analis Sebut Pasar Saham RI Jadi Primadona, Ini Alasannya