Soal Visa-Mastercard Vs QRIS, DPR Jelaskan Duduk Perkaranya

2 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti kebijakan pembayaran digital Indonesia, Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Pemerintah AS menilai QRIS membatasi ruang gerak perusahaan asing.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun membantah adanya ada hubungan antara produk sistem pembayaran dari luar seperti Mastercard atau Visa dengan laporan badan kebijakan perdagangan AS, United States Trade Representative (USTR), soal QRIS RI.

"Tidak ada irisan sama sekali dengan Visa atau Mastercard yang seperti yang dikhawatirkan. Karena segmentasinya berbeda, segmentasinya berbeda," ucapnya pada Senin (5/5/2025).

Misbakhun menjelaskan bahwa QRIS merupakan pembayaran digital dalam rangka memperkuat ekonomi domestik.

Sehingga DPR RI akan terus memberi dukungan ke BI untuk terus memperkuat sistem QRIS tersebut.

"Jadi kita justru ingin memberikan penguatan bahwa QRIS itu dalam rangka upaya memberikan penguatan kedaulatan. Dan kita melakukan upaya untuk memperkuat sistem pembayaran digital di dalam negeri," katanya.

"Kita (DPR RI) ingin memberikan penguatan kepada BI untuk tetap mengembangkan dan memperkuat sistem teknologi QRIS itu."

Terungkap dari dokumen USTR, perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank-bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberitahu tentang sifat perubahan potensial tersebut maupun diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada.

Selain GPN dan QRIS, USTR juga menyoroti Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020, yang berlaku efektif Juli 2021, untuk mengimplementasikan Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025. Peraturan ini menetapkan kategorisasi sistem pembayaran berdasarkan risiko, kegiatan dan sistem perizinan.

Peraturan tersebut menerapkan batasan kepemilikan asing sebesar 85% untuk operator layanan pembayaran nonbank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, tetapi investor asing hanya boleh memegang 49% saham dengan hak suara.

Adapun, Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), Santoso Liem, menilai perusahaan switching AS sebenarnya tidak memiliki hambatan dalam bisnis kartu kredit di Indonesia. Bahkan ia mengatakan Visa dan Mastercard, serta perusahaan switching asal negara lain masih mendominasi bisnis kartu kredit di Indonesia.

Ia memperkirakan sekitar 75% hingga 80% pangsa pasar kartu kredit RI masih dikuasai Visa dan Mastercard. Sementara itu, seluruh international principle yang ada di RI, diperkirakan menguasai 95% pangsa pasar kartu kredit di Tanah Air.

Terkecuali, pada kartu debit. Santoso menjelaskan itu memang disebabkan karena keberadaan QRIS. Ia menjelaskan latar belakang keberadaan QRIS awalnya merupakan solusi untuk memudahkan para pedagang atau merchant dengan seluruh masyarakat di Indonesia. Sebab, tidak semua UMKM mampu memiliki mesin EDC yang mahal dan harus online.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Literasi Masih Kurang, Tantangan Ekspansi Pembayaran QRIS Tap

Next Article Bukti Kelas Menengah RI Makin Susah, Terlihat dari QRIS

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |