Proyek Batu Bara RI Disulap Jadi LPG Mandek, Terungkap Kendalanya Ini

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membeberkan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dalam menggarap proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di dalam negeri yang belum kunjung terealisasi. Seperti diketahui DME digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk menggantikan LPG (Liquefied Petroleum Gas)

Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan terdapat berbagai tantangan yang dihadapi oleh perusahaan untuk menggarap proyek tersebut. Salah satunya adalah kendala terkait nilai keekonomian produk yang akan dihasilkan.

Arsal menyebutkan, estimasi harga DME yang akan dihasilkan oleh pihaknya lebih tinggi dibandingkan asumsi keekonomian pemerintah. Dia memperhitungkan, harga DME yang dihasilkan di dalam negeri mencapai US$ 911- 987 per ton yang mana lebih tinggi dari asumsi pemerintah sebesar US$ 617 per ton.

"Nah, kami tentunya menyadari bahwa proyek DME ini masih menghadapi sejumlah tantangan utama. Pertama adalah tantangan keekonomian, di mana estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor," jelas Arsal dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI, Jakarta, Senin (5/5/2025).

Adapun, dia mengatakan bahwa kesenjangan harga keekonomian tersebut berpotensi untuk memperbesar nilai subsidi yang harus digelontorkan oleh pemerintah. Lebih lanjut, tantangan lain juga dihadapi dalam menggarap proyek DME dalam negeri termasuk tantangan teknis.

Arsal menyebutkan, Pertamina sebagai salah satu partner dalam menggarap proyek DME bersama pihaknya sudah menyampaikan bahwa ada tantangan berupa keterbatasan infrastruktur. Dia mengungkapkan diperlukan infrastruktur berupa pipa sepanjang 172 kilometer (km) untuk mendistribusikan DME pada konsumen.

"Kebutuhan konversi infrastruktur, seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME, jadi jaraknya itu kurang lebih 172 km, serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas," paparnya.

Adapun, dalam paparannya Arsal mengatakan terdapat tantangan lain seperti kondisi kelebihan pasokan Liquefied Petroleum Gas (LPG) khususnya di wilayah Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel) yang berdampak pada dibutuhkannya biaya tambahan untuk bisa mendistribusikan DME pada wilayah yang kekurangan LPG.

"Proyek DME akan lebih berdampak apabila diperuntukkan untuk wilayah yang memang defisit LPG, seperti Kalimantan," terangnya.

Selain itu, ada pula tantangan lainnya seperti DME yang memiliki kalori lebih rendah sehingga memerlukan waktu memasak yang lebih lama. Dia juga menyebutkan bahwa DME memerlukan kompor khusus sehingga terdapat risiko apabila terjadi stock out DME. Terakhir, diperlukannya pembahasan lebih lanjut mengenai strategi manajemen karbon yang akan diterapkan dalam proyek DME di Tanah Air.

eskcavator dan batu baraFoto: ist
eskcavator dan batu bara

Diminati Investor China

Pada kesempatan itu, Arsal mengatakan ada perusahaan asal China yang menunjukkan minat untuk menggarap proyek tersebut di Indonesia. Perusahaan tersebut yakni East China Engineering Science and Technology Co. Ltd. (ECEC).

Arsal mengatakan, sejak perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS) yakni Air Products pada awal tahun 2023 lalu hengkang dari rencana investasi proyek DME di Indonesia, pihaknya terus mencari investor lainnya termasuk dari Negeri Tirai Bambu.

"Kami sudah berkoordinasi dengan CNCEC, CCESCC, ECEC, dan beberapa perusahaan lain. Ini kalau di Cina, ini banyak CCCC ini, singkatnya, gitu kan, yang China Corporation, gitu, kan. Nah, dari seluruh calon mitra tersebut, baru ECEC, gitu, ya, yang menyatakan minat menjadi mitra investor," bebernya.

Dia menyebutkan, perusahaan asal China yang minat tersebut sudah mengajukan proposal awal pada 18 November 2024 lalu. Salah satu yang tertulis dalam proposal tersebut adalah biaya pemrosesan atau processing service fee (PSF) yang diajukan oleh ECEC sebesar US$ 412-488 per ton.

Meskipun memang, Arsal mengatakan bahwa minat China dalam menggarap proyek DME dalam negeri belum menunjukkan minat untuk berinvestasi penuh di Indonesia.

"Di sisi lain, PTBA tetap melanjutkan persiapan proyek secara paralel. Jadi, saat ini, kami telah berhasil melakukan pembebasan lahan seluas 198 hektare atau sekitar 97% dari total kebutuhan lahan yang pada saat itu sebesar 203 hektare," imbuhnya.

Batu Bara Mau Disulap Synthetic Natural Gas (SNG)

Bukan cuma DME, Arsal juga mengungkapkan bahwa perusahaan memiliki inisiatif hilirisasi batu bara selain menjadi Synthetic Natural Gas (SNG), artificial graphite, anoda sheet, hingga asam humat. Arsal mengatakan, keseluruhan rencana tersebut akan berpusat di Kawasan Industri tanjung Enim, Sumatera Selatan.

"Nah, kawasan ini letaknya kurang lebih 216 km dari Palembang. Kalau jadi nanti ke sana, ya, kurang lebih kalau jalan darat, itu meskipun sudah ada jalan tol, masih ada waktu, kalau pakai patwal, kurang lebih 3,5 jam lah," ujarnya.

Khusus hilirisasi batu bara menjadi SNG, Arsal mengatakan pihaknya bersama dengan PT PGN Persero menilai SNG dari batu bara tersebut bisa menggantikan posisi Liquefied Natural Gas (LNG) termasuk untuk kebutuhan dalam negeri.

"Proyek ini tentunya bertujuan untuk mencari alternatif solusi kebutuhan gas nasional, yang harapannya dapat menambah diversifikasi portofolio energi gas nasional," paparnya.

Adapun, dia mengungkapkan bahwa rencana dari proyek hilirisasi batu bara menjadi SNG tersebut akan memanfaatkan hingga 8,7 juta ton batu bara kalori rendah yang bisa menghasilkan hingga 240 BBTUD SNG.

Nantinya, pihaknya akan menjadi pemasok batu bara hingga pembangunan pabrik dan konversi. Sedangkan PGN akan menjadi penyedia infrastruktur rencana proyek tersebut.

Lebih lanjut, dia mengatakan estimasi biaya untuk merealisasikan proyek tersebut mencapai US$ 3,2 miliar setara Rp 52,65 triliun (asumsi kurs Rp 16.453 per US$).

"Skema visi yang disiapkan dalam proyek ini adalah PTBA sebagai coal supplier atau pemasok batubara, pembangunan pabrik dan konversi dilakukan oleh perusahaan pengelola atau processing company berbentuk joint venture antara PTBA, PGN, dan Mitra Teknologi. Jadi, kami nanti akan terlibat tidak hanya sebagai coal supplier, tapi juga di dalam joint venture-nya," imbuhnya.

Saat ini, pihaknya bersama dengan PGN tengah menyusun Head of Agreement (HOA) yang mana dalam waktu dekat, Arsal mengatakan pihaknya akan menyusun feasibility study (FS) untuk mengevaluasi aspek teknis, keekonomian, hingga formulasi harga yang kompetitif.

"Berdasarkan kajian sementara di tahun 2024, SNG yang dihasilkan ini nanti diproyeksikan akan kompetitif dibandingkan dengan harga LNG impor," ujarnya.


(wur)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Respons Airlangga Soal Kemenkeu Kaji Cukai Batu Bara & Motor

Next Article Pemerintah Kebut Hilirisasi, Terbesar Proyek Pengganti LPG Rp180 T

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |