Pengusaha RI Mulai Goyang: Usahanya Membaik Tapi Tak Pede, Ada Apa?

8 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku usaha di Indonesia sepertinya makin tak yakin dengan kondisi perekonomian ke depan. Meski, sebagian besar pelaku usaha masih optimistis dengan kondisi usahanya dalam 6 bulan ke depan.

Hal itu terungkap dari hasil survey Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tentang Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dilakukan setiap bulan. Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, IKI pada bulan Juni 2025 berada pada fase ekspansi, yakni di level 51,84.

Disebutkan, IKI bulan Juni 2025 turun dari posisi di bulan Mei 2025 yang mencapai 52,11. Juga lebih rendah dibandingkan IKI pada Juni 2024 yang ada di level 52,50.

Lebih lanjut, IKI sektor industri berorientasi ekspor tercatat sebesar 52,19 (turun 0,14 poin dari Mei), dan sektor domestik 51,32 (turun 0,50 poin). Katanya, hal ini dipengaruhi ketidakpastian global seperti kebijakan tarif AS yang mengganggu rantai pasok serta kenaikan harga energi dunia terutama harga gas akibat peningkatan eskalasi konflik di Timur Tengah.

Menurut Febri, posisi IKI yang masih di fase ekspansi ini menunjukkan ketangguhan sektor manufaktur nasional dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan persaingan di pasar domestik.

"Pelemahan IKI dipicu penurunan variabel produksi yang menurun ke 46,64, sementara variabel pesanan justru naik signifikan ke 54,21. Hal ini mencerminkan kehati-hatian pelaku industri dalam merespons kenaikan permintaan melalui produk yang telah diproduksi sebelumnya," kata Febri dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (1/7/2025).

"Meski ada perlambatan, 18 dari 23 subsektor masih berada di zona ekspansi, dan 18 subsektor yang ekspansi tersebut berkontribusi sebesar 92,2% terhadap PDB industri nonmigas triwulan I-2025. Jadi, industri manufaktur Indonesia masih ekspansif pada bulan Juni 2025 disebabkan karena 18 subsektor yang kontribusi PDB besar berada pada fase ekspansif," tambahnya.

Febri menyebut, industri manufaktur nasional selama ini ditopang oleh stabilitas inflasi dan tren surplus neraca perdagangan selama lima tahun terakhir.

"Di sisi lain, dinamika industri dalam negeri turut dipengaruhi oleh peningkatan belanja pemerintah pada belanja infrastruktur dan konstruksi. Begitu juga dengan kebijakan relaksasi impor produk jadi juga ikut menekan permintaan domestik beberapa industri," ujarnya.

Kebijakan relaksasi yang kemudian memicu lonjakan impor produk jadi, sebutnya, telah menekan utilisasi industri dalam negeri. Disertai dengan penutupan industri serta ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di 8 kelompok industri utama seperti alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi.

Karena itu, pencabutan Permendag No 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor lewat Paket Deregulasi Tahap I mendapat dukungan dari Kemenperin. Keputusan itu disebut sebagai langkah mitigasi sekaligus upaya menjaga ketahanan industri nasional.

"Dengan pembatasan impor secara selektif, maka pesanan produk dalam negeri akan meningkat. Karena itu, setelah kebijakan tersebut diterapkan, kami yakin dampaknya akan positif terhadap variabel pesanan dalam IKI, khususnya pada subsektor industri tekstil dan pakaian jadi," ucapnya.

"Pada Juni 2025, pesanan pada industri tekstil, produk pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi mengalami kontraksi. Ini menunjukkan, relaksasi impor sebelumnya
telah menekan permintaan domestik. Maka, revisi kebijakan ini diharapkan akan memulihkan permintaan dan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri," sambungnya.

Optimisme Pengusaha Tergerus

Namun di sisi lain, meski keyakinan pelaku industri terhadap prospek usaha dalam 6 bulan ke depan masih cukup terjaga. Dan para pelaku usaha masih optimistis memandang kondisi usaha 6 bulan ke depan. Tapi optimisme itu semakin menurun.

Kemenperin melaporkan, tingkat optimisme mencapai 65,8%, sedangkan yang menjawab pesimis hanya 9,0%.

Namun, optimisme pelaku usaha ini terus menurun sejak November 2024, dari 73,4% menjadi 65,8% pada Juni 2025.

"Penurunan optimisme pelaku usaha pada Juni 2025 yang turun hampir 1% dibanding bulan sebelumnya dipicu oleh eskalasi konflik di Timur Tengah. Khususnya ketegangan Iran-Israel yang meningkatkan kekhawatiran atas lonjakan harga energi dan biaya logistik," tukasnya.

"Sebagian industri kita sangat bergantung pada energi, termasuk gas sebagai bahan baku. Sehingga rentan terhadap gejolak harga. Selain itu, gangguan jalur logistik global turut mendorong kenaikan biaya produksi dan distribusi," terangnya.

Yang perlu jadi catatan penting adalah, survey IKI Kemenperin itu menemukan, secara keseluruhan, mayoritas pelaku industri mencatatkan perbaikan atau stabilitas usaha pada Juni 2025.

"Sebanyak 32,1 persen menyatakan kondisi usaha membaik (naik dari 28,9 persen bulan sebelumnya). Dan 45,1 persen menyatakan stabil. Hanya 22,8 persen yang menyatakan penurunan kondisi usaha-lebih rendah dibanding bulan Mei (25,7 persen)," kata Febri.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Ekonomi RI Zaman Soeharto Pernah 8%, Eks Menkeu Ini Ungkap Resepnya

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |