Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Amerika Serikat (AS), pada 21-22 Juni 2025, melancarkan serangan terhadap tiga instalasi nuklir utama Iran, yaitu Natanz, Fordow, dan Isfahan. AS menggunakan B‑2 Spirit bomber dan rudal Tomahawk, yang menurut Presiden AS Donald Trump "sangat sukses" dan menghancurkan fasilitas tersebut secara total.
Kecemasan pasar terasa sangat nyata. Di pasar blockchain, Ether anjlok lebih dari 5% dan Bitcoin turun 1%. Sementara Per 23 Juni 2025 pukul 09.01 WIB, tekanan geopolitik ini masih mencengkeram bursa Asia dan global.
IHSG dibuka di level 6.948,28, turun dari penutupan kemarin 6.968,64, mencerminkan tekanan jual dari investor asing seiring pelemahan rupiah. STI (Singapura) berada di 3.883,43, KOSPI (Korea Selatan) di 2.999,40, dan SET (Thailand) melemah ke 1.067,63.
Kemudian Hang Seng (Hong Kong) terkoreksi dalam kisaran 23.392-23.530, tertekan hingga -1,3%. KLCI (Malaysia) dibuka tipis di 1.500,94, sedikit melemah. Nikkei 225 (Jepang) diperdagangkan di kisaran 38176-38212, terkoreksi sekitar -0,5% hingga -0,6% dari level penutupan sebelumnya 38403, menunjukkan tekanan lanjutan di pasar Jepang.
Shanghai Composite (China) berada di sekitar 3357-3358, melemah tipis -0,09%, konsisten dengan kehati-hatian investor regional terhadap sentimen geopolitik. Sementara, ASX 200 (Australia) mulai sesi awal dengan tren negatif, di kisaran 8.429.
Di pasar barat, S&P 500 (SPY) berada di USD594,28 dan Nasdaq (QQQ) di USD526,83, keduanya tertekan tipis. FTSE 100 (UK) turun -0,20% ke 8.774, sedangkan DAX (Jerman) dan CAC 40 (Prancis) rebound masing-masing +1,27% ke 23.350 dan +0,48% ke 7.589. Lalu, Sensex (India) menguat +1,29% ke 82.408, mengindikasikan perbedaan sentimen di Asia Selatan, Eropa, dan Amerika Utara.
Kemudian, harga minyak Brent crude melonjak tajam ke kisaran US$77-81/barel, dipicu eskalasi ketegangan Iran-AS, memengaruhi inflasi dan ketahanan perdagangan energi global. Hal ini merupakan efek langsung penutupan Selat Hormuz oleh otoritas Tehran.
Teluk Persia adalah jalur kasar 18 juta barel per hari hingga 21 juta barel per hari, belum lagi Terusan Suez dan Laut Merah. Dapat dikatakan bahwa harga minyak global langsung meroket. Sementara WTI melonjak 2,8% ke $78,85 per barel.
Harga minyak yang melambung bernilai lebih dari sekadar headline. Setiap kenaikan $1 per barel minyak menambah beban subsidi energi Indonesia sebesar sekitar Rp 2 triliun. Jika minyak menyentuh $100, beban APBN berpotensi melesat puluhan triliun rupiah, dengan dampak langsung pada harga BBM, inflasi, dan pengalihan anggaran dari sektor sosial.
Sentimen investor sangat sensitif terhadap potensi perluasan konflik dan gangguan rantai pasok energi global. Bursa Asia yang terbebani risk-off sentiment sering menjadi cermin ketakutan global.
Lebih dari sekadar ekonomi, ketegangan ini memaksa Indonesia mengkaji ulang strategi geopolitik dan pertahanan: memperkuat kerja sama maritim di selat kritis Selat Malaka, meningkatkan peran di ASEAN dan forum Indo‑Pasifik, serta mengurangi ketergantungan pada mitra tunggal dalam diplomasi.
Respons geopolitik dimunculkan Korea Utara. Pyongyang mengutuk Israel sebagai "entitas kanker" dan menyerukan perlawanan terhadap agresi, sambil menyinggung peran AS sebagai dalang. Ditambah laporan Reuters bahwa Korut terus mengembangkan rudal jarak pendek dan mengekspor sistem seperti yang digunakan Rusia di Ukraina untuk menandai kesiapan teknis dan solidaritas strategis ke Iran.
Korut yang tampil agresif melalui propaganda yang menunjukkan rudal dan wacana aliansi antara Pyongyang, Tehran, Beijing, Moskow, Sanaa, dan Islamabad. Hal ini menggarisbawahi rasionalitas baru di dunia yang terpolarisasi kembali, bahwa bertahan bukan lewat negosiasi, tapi lewat kemampuan teknis, militer, dan ketahanan ekonomi. Sebuah rezim yang dianggap ekstrem ternyata tampil sebagai aktor strategis yang rasional dalam kondisi pertempuran asimetris ini.
Sementara itu, krisis ini membuka peluang diplomasi cerdas dari Indonesia, yaitu menjadi mediator netral, memperkuat rantai pasok alternatif energi (misalnya pengembangan energi terbarukan lokal dan diversifikasi impor), serta memperkuat cadangan devisa dan sistem keuangan agar lebih tahan guncangan.
Dunia kini bergerak dengan cepat dan penuh tanda tanya. Apa yang awalnya terlihat seperti konflik Israel-Iran kini telah berkembang menjadi poros anti‑Amerika yang melibatkan Korea Utara, bahkan Rusia dan China.
Di tengah gempuran ini, Indonesia dihadapkan pada pilihan kritis: apakah kita siap menahan badai, atau tetap berharap belaian normalitas yang mungkin tak pernah datang?
(miq/miq)