Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus bangkrutnya perusahaan tekstil dan garmen terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex memasuki episode baru. Dugaan korupsi dalam pemberian kredit pun kini mencuat dalam penyebab kebangkrutan Sritex.
Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit kepada Sritex oleh beberapa bank daerah. Kejagung menduga adanya penyalahgunaan kewenangan dalam proses pemberian kredit yang merugikan keuangan negara.
Kejagung telah menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk dan PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan entitas anak usaha.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, ketiga tersangka tersebut di antaranya, Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) (2005-2022) Iwan Setiawan Lukminto (ISL), Dicky Syahbandinata selaku pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten tahun 2020, dan Zainuddin Mapa selaku Direktur Utama PT Bank DKI Jakarta tahun 2020.
Ia mengungkapkan, pihaknya mencium keganjilan dalam laporan keuangan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL). Tercatat kerugian dengan nilai mencapai US$1,08 miliar atau setara dengan Rp15,66 triliun pada 2021 lalu.
"Padahal pada tahun 2020, masih mencatat keuntungan US$ 85,32 juta atau Rp1,24 triliun," ujarnya dalam konferensi pers di gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) Jakarta, dikutip Kamis (22/5).
Dari data laba bersih berjalan Sritex, dapat terlihat jelas bahwa tahun 2021 menjadi kerugian terbesar Sritex sejak perusahaan garmen terbesar tersebut melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Namun, kerugian tersebut berhasil terkikis hingga September 2024 menjadi Rp637 miliar.
Jika berkaca terhadap pendapatan Sritex, terjadi penurunan pada pendapatan 2021 dari pendapatan 2020 sebesar 35%. Penurunan tersebut menjadi awal Sritex mencetak kerugian terbesarnya, dan sejak saat itu pendapatan Sritex terus merosot hingga akhir September 2024.
Merosotnya pendapatan hingga laba disebabkan oleh pandemi COVID-19 yang dimulai pada 2020 yang mengganggu rantai pasok global dan menurunkan permintaan konsumen. Akibatnya, perusahaan terpaksa mengajukan restrukturisasi utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Mei 2021, dengan total utang mencapai sekitar Rp12,9 triliun.
Sebelum krisis, Sritex sempat melakukan ekspansi besar-besaran, termasuk pembelian mesin baru dan pembukaan pabrik tambahan, yang dibiayai melalui utang berbunga tinggi.
Meningkatnya hutang Sritex juga menjadi sorotan kasus kebangkrutan Sritex.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung atau Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar membeberkan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari beberapa bank pemerintah daerah kepada Sritex dengan nilai total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga bulan Oktober 2024 sebesar Rp3.588.650.808.028,57 (Rp 3,58 triliun).
Liabilitas Sritex per September 2024 tercatat Rp24,5 triliun. Terpantau hutang membengkak sejak Sritex membukukan kerugian besar pada 2021. Dimana hutang Sritex juga membengkak 40% dari 2020 ke 2021 menjadi Rp23,3 triliun.
Sritex dan entitas anak perusahaannya memiliki kredit dengan nilai total Outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga bulan Oktober 2024 sebesar Rp3.588.650.808.028,57 kepada beberapa bank pemerintah baik Bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) maupun Bank milik daerah.
Rinciannya, Bank Jateng Rp395.663.215.840,00, Bank BJB Rp543.980.507.170,00, Bank DKI Rp 149.007.085.018,57, dan Sindikasi (Bank BNI, Bank BRI, dan LPEI) senilai Rp 2.500.000.000.000.
Selain kredit tersebut di atas, PT Sri Rejeki Isman, Tbk juga mendapatkan pemberian kredit di 20 bank swasta.
Kejatuhan Sritex menjadi contoh dari kombinasi faktor internal, seperti ekspansi yang tidak terkendali dan manajemen utang yang buruk, serta faktor eksternal seperti pandemi, persaingan global, dan kebijakan pemerintah, dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan besar. Kejadian ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya manajemen risiko dan adaptasi terhadap perubahan pasar bagi perusahaan besar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)