Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat pada awal perdagangan hari ini, Rabu (4/6/2025).
Indeks naik 0,55% atau terapresiasi 38,42 poin ke 7.083,24. Sebanyak 195 saham naik, 36 turun, dan 285 tidak bergerak.
Nilai transaksi pagi ini mencapai Rp 214 miliar yang melibatkan 165,51 juta juta saham dalam 15.696 kali transaksi. Kapitalisasi pasar pun turun menjadi Rp 12.304 triliun.
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih bergerak volatile hari ini, seiring dengan rilis data ekonomi yang mengindikasikan pelemahan domestik semakin nyata.
Dari sisi internal, deflasi dalam indeks harga konsumen (IHK), surplus neraca perdagangan yang sangat tipis hingga hampir defisit, serta kontraksi yang masih berlanjut dalam aktivitas manufaktur menjadi sinyal bahwa fundamental ekonomi nasional belum cukup kuat untuk dikatakan pulih sepenuhnya. Adanya insentif ekonomi diharapkan bisa menjadi pendobrak ekonomi.
Sementara dari sisi eksternal, ketegangan antara Rusia dan Ukraina kembali membuat kekhawatiran pelaku pasar secara umum. OECD juga memangkas proyeksi ekonomi global. Satu sentimen positif yang ditunggu pasar adalah pembicaraan
Deflasi April 2025 Secara Bulanan
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk Mei 2025, menunjukkan deflasi sebesar 0,37% secara bulanan (month-on-month/mom).
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, mengonfirmasi bahwa terjadi deflasi di bulan Mei, setelah dua bulan sebelumnya mengalami inflasi. Secara historis, periode Mei 2021-2023 mencatat inflasi karena bertepatan dengan momen Lebaran dan pasca Lebaran, sementara pada Mei 2024 dan Mei 2025 justru mengalami deflasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan deflasi 0,37% secara month to month (mtm) pada Mei 2025 bukan menandakan daya beli masyarakat Indonesia turun.
Menurutnya ini justru efek dari kebijakan pemerintah yang berhasil menjaga harga barang dan jasa.
"Kalau deflasi ini kan kaya kita melakukan diskon transport, ini pasti menimbulkan deflasi, bukan karena masyarakat daya belinya turun, karena pemerintah melalui administered price, pemerintah melalukan intervensi," jelasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/6/2025).
Deflasi pada Mei adalah yang ketiga kalinya sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%).
Aktivitas Manufaktur RI Masih Sulit
Aktivitas manufaktur Indonesia kembali menunjukkan kontraksi pada Mei 2025, memperpanjang tren penurunan selama dua bulan berturut-turut.
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis oleh S&P Global pada Senin (2/6/2025) mencatat angka 47,4, menandakan berlanjutnya pelemahan sektor manufaktur. S&P Global mengungkapkan bahwa aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan yang bahkan lebih tajam dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.
Lemahnya permintaan pasar dan lebih sedikit permintaan barang sebagai faktor utama dari jebloknya aktivitas manufaktur. Permintaan dari luar negeri juga kembali melemah, meskipun dengan laju yang lebih lambat, terutama ekspor ke Amerika Serikat.
Kondisi permintaan yang lemah ini turut mendorong penurunan lanjutan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Meskipun masih dalam kategori solid, laju penurunan produksi lebih lambat dibanding bulan sebelumnya.
Rusia-Ukraina Makin Memanas
Pada 3 Juni 2025, Dinas Keamanan Ukraina (SBU) melancarkan serangan bawah air terhadap Jembatan Krimea, yang menghubungkan Rusia dengan semenanjung Krimea yang dianeksasi. Dalam operasi yang direncanakan selama beberapa bulan, sekitar 1.100 kilogram bahan peledak diledakkan di bawah permukaan air untuk merusak pilar-pilar penyangga jembatan di Selat Kerch. Ini merupakan serangan ketiga Ukraina terhadap jembatan tersebut sejak perang dimulai pada 2022.
Serangan ini terjadi di tengah ketegangan yang meningkat antara Rusia dan Ukraina, termasuk serangan roket Rusia di kota Sumy yang menewaskan setidaknya tiga warga sipil. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, mengecam serangan tersebut sebagai bukti bahwa Rusia tidak berniat mengakhiri perang.
Sementara itu, dalam perundingan damai di Istanbul, Rusia mengajukan syarat-syarat yang dianggap Ukraina sebagai bentuk penyerahan, termasuk pengakuan atas aneksasi wilayah dan pembatasan kekuatan militer Ukraina. Ukraina menolak syarat-syarat tersebut, menegaskan komitmennya terhadap kedaulatan dan integritas wilayahnya.
OECD Pangkas Pertumbuhan Global dan Indonesia
Laporan Economic Outlook terbaru dari OECD mengingatkan prospek ekonomi global semakin melemah, dengan hambatan perdagangan yang substansial, kondisi keuangan yang lebih ketat, menurunnya kepercayaan, dan meningkatnya ketidakpastian kebijakan.
Laporan tersebut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global melambat dari 3,3% pada 2024 menjadi 2,9% pada 2025 dan tetap di 2,9% pada 2026. Perlambatan ini diperkirakan akan paling terasa di Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, dan China, dengan penyesuaian penurunan yang lebih kecil di negara-negara lain.
Pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat diperkirakan akan turun dari 2,8% pada 2024 menjadi 1,6% pada 2025 dan 1,5% pada 2026. Pertumbuhan Tiongkok diproyeksikan melambat dari 5,0% pada 2024 menjadi 4,7% pada 2025 dan 4,3% pada 2026.
OECD juga memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi hanya 4,7% pada tahun ini dan 4,8% pada 2026.
Menurut OECD, melemahnya sentimen dunia usaha dan konsumen baru-baru ini akibat ketidakpastian kebijakan fiskal dan tingginya biaya pinjaman akan menekan konsumsi swasta dan investasi pada paruh pertama tahun 2025.
Seiring dengan pelonggaran bertahap kondisi keuangan, inflasi yang tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia, serta mulai meningkatnya belanja investasi publik dari lembaga pengelola dana kekayaan negara yang baru (Danantara), permintaan domestik diperkirakan akan meningkat secara bertahap pada paruh kedua 2025 dan sepanjang 2026.
Namun, meningkatnya ketegangan perdagangan global dan penurunan harga komoditas diperkirakan akan menekan permintaan eksternal dan pendapatan ekspor.
Inflasi diperkirakan akan meningkat secara bertahap hingga mencapai titik tengah dari kisaran target Bank Indonesia, seiring berakhirnya dampak dari diskon tarif listrik sementara pada awal 2025 dan depresiasi nilai tukar yang mulai berdampak pada harga-harga domestik.
Risiko utama yang bisa men-downrisk ekonomi Indoensia.
Survei Lowongan Kerja dan Perputaran Tenaga Kerja (JOLTS) AS Meningkat
Jumlah lowongan pekerjaan pada hari kerja terakhir bulan April tercatat sebesar 7,39 juta, menurut laporan Survei Lowongan Kerja dan Perputaran Tenaga Kerja (JOLTS) yang dirilis oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) pada hari Selasa. Angka ini naik dari 7,2 juta pada bulan Maret dan melebihi ekspektasi pasar yang berada di angka 7,1 juta.
"Selama bulan tersebut, jumlah perekrutan dan total pemisahan tenaga kerja tidak banyak berubah, masing-masing sebesar 5,6 juta dan 5,3 juta. Dalam kategori pemisahan, pengunduran diri (3,2 juta) dan pemutusan hubungan kerja serta pemberhentian (1,8 juta) juga tidak mengalami perubahan signifikan," ungkap BLS dalam siaran persnya.
Usai perilisan data tersebut, indeks dolar AS (DXY) melonjak 0,56% pada 4 Juni 2025 pukul 04:26 WIB ke angka 99,26. Hal ini cukup negatif bagi nilai tukar rupiah yang berpotensi kembali tertekan bahkan berpeluang menyentuh level Rp16.300/US$.
Trump Akan Bertemu dengan Jinping
Presiden Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping kemungkinan akan melakukan pembicaraan pekan ini.
Diskusi yang diharapkan ini muncul setelah serangkaian ketegangan antara Washington dan Beijing yang mengancam akan menggagalkan kesepakatan dagang sementara yang baru saja dicapai oleh dua kekuatan ekonomi besar tersebut beberapa minggu sebelumnya.
Kedua pemimpin tersebut dapat melakukan percakapan langsung "dalam waktu dekat," meskipun kemungkinan tidak hari ini, kata pejabat tersebut dengan syarat anonim.
Indeks pasar saham AS dibuka lebih rendah pada Senin pagi, karena para investor bereaksi terhadap nada pernyataan publik yang semakin konfrontatif antara AS dan Tiongkok.
Perdagangan antara kedua negara - yang sangat bergantung satu sama lain - praktis terhenti pada bulan April, ketika Trump menaikkan tarif menyeluruh atas impor dari Tiongkok hingga 145%, dan Beijing membalas dengan bea masuk balasan yang tinggi. Kedua pihak kemudian sepakat untuk mengurangi sebagian besar tarif tersebut selama 90 hari setelah putaran awal negosiasi dagang di Swiss pada pertengahan Mei.
Namun sejak saat itu, masing-masing negara menuduh pihak lain merusak kesepakatan yang dicapai di Jenewa.
Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintahan Trump menuduh Tiongkok memperlambat ekspor kembali mineral-mineral penting ke Amerika Serikat, sementara Beijing mengecam Washington karena mengeluarkan peringatan agar tidak menggunakan chip buatan Tiongkok.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Mau Libur Panjang, IHSG Lanjut "Semringah" Tapi Rupiah Melemah
Next Article Saham Bank Raksasa RI Turun Tajam, IHSG Makin Tertekan