Ekonomi Tanpa Biaya Tetap: Dunia Tanpa Fondasi

2 weeks ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan. Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik. Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi.

Di sini, penulis ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman. Adapun episode ke-2 ini penulis beri judul: "Ekonomi Tanpa Biaya Tetap: Dunia Tanpa Pondasi". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.

---

Dulu, untuk memulai usaha, manusia harus membangun. Semuanya harus diperkirakan dan dipresisikan bagian perbagian. Karena berbagai perubahan, kini, pebisnis hanya perlu berlangganan. Dulu, kantor butuh disewa, toko harus buka pagi, dan pegawai digaji tetap. Kini, semua bisa disewa harian, diklik instan, dan dibayar per shift.

Dulu, pabrik adalah keputusan strategis. Kini, pabrik adalah pilihan vendor. Dulu, membuat bisnis adalah menyatakan komitmen. Sekarang, membuat bisnis hanya butuh bandwidth dan kartu kredit. Dan itulah dunia yang kini kita hadapi: Dunia yang minim biaya tetap.

Ini adalah salah satu hal paling menarik, karena untuk pertama kalinya, dunia bisa berjalan tanpa fondasi. Seseorang bisa memulai restoran tanpa dapur sendiri, bisa menjual barang tanpa gudang, bisa menjual layanan ke luar negeri tanpa pernah keluar dari rumah. Fixed cost yang dulu menjadi batu fondasi setiap keputusan bisnis telah menguap. Ia digantikan oleh cloud service, drop-ship, third-party logistic, dan gig economy.

Ini bukan sekadar kemajuan. Ini adalah pergeseran ontologis. Karena ketika fixed cost hilang, maka: Tak ada lagi keterikatan terhadap tempat dan situasi, Tak ada lagi risiko jangka panjang dan tak ada lagi "titik berat" yang memberi arah pada ekonomi.

Ketika para pelaku usaha melihat apapun yang mereka bangun bisa digantikan dalam semalam, ekonom kehilangan sesuatu yang sangat sakral dalam makroekonomi, yakni rigiditas. Dalam teori ekonomi makro, kita belajar bahwa ekonomi bisa diatur karena ia tidak langsung bereaksi terhadap perubahan.

Upah tidak langsung turun saat krisis, dan pengusaha harus mempertahankan pabrik dan kantor untuk boom selanjutnya. Harga tidak langsung berubah saat permintaan anjlok. Investasi membutuhkan proses yang panjang. Itulah rigiditas.

Dalam Teori Ekonomi Makro Modern yang diajarkan di bangku kuliah di Boston, Massachusets sampai Depok, Keynesianisme hidup karena adanya rigiditas. New Keynesian DSGE model yang menjadi acuan umum pengambil keputusan global berdiri di atas asumsi price and wage stickiness.

Multiplier fiskal bisa bekerja karena ekonomi tidak instan dalam bereaksi, masih ada ruang nafas. Tapi dalam dunia tanpa biaya tetap, semua itu runtuh. Ketika semua langsung bisa disesuaikan, maka tidak ada lagi penyangga siklus. Yang kita lihat kini hanyalah resonansi, bukan respons.

Runtuhnya Pilar-Pilar Besar
Dulu, keputusan bisnis besar diambil dengan berat karena begitu modal tertanam, ia tak bisa ditarik kembali. Ada biaya besar yang haru kita relakan, apapun hasil dari keputusan bisnis, yakni Sunk Cost. Hal ini menciptakan kedalaman strategi.

Ia membuat pelaku ekonomi berpikir dua kali sebelum bergerak. Kini? Modal bisa ditarik dalam semalam. Startup bisa pivot setiap bulan Ketika ada tren baru. Pabrik bisa ditinggal, brand bisa diganti, pelanggan bisa dilepas. Tanpa sunk cost, tidak ada "path dependence" yang membuat ekonomi punya arah dan sejarah.

Kita hidup dalam ekonomi amnesia, di mana semua bisa dibuang, semua bisa dimulai ulang, dan semua terasa tak penting. Tidak ada lagi keamanan kerja bagi masyarakat. Semuanya bisa datang dan pergi secepat kilat. Dalam pengalaman pribadi, Ketika mendengar ada lagu yang trending tik-tok, belum sempat saya tahu, apa judul lagu, dan siapa pengarangnya, dia sudah menghilang.

Dulu, ada sebuah makhluk bernama Search Cost, yang mungkin saat ini kalau diajarkan di kelas Ekonomi Industri akan ditertawakan. Dulu, mencari partner bisnis, pelanggan, atau lokasi adalah proses panjang dan penuh risiko. Maka nilai ekonomi terletak pada pengetahuan lokal, kepercayaan, dan jaringan.

Tapi AI, algoritma, dan data kini menghapus semua itu. Ingin tahu supplier terbaik? Lihat rating. Ingin tahu tren permintaan? Minta ke mesin prediksi. Ingin rekrut tim? Minta artificial intelligence sortir CV dan tulis job description-nya. Runtuhnya Search Cost ini ini membuat hubungan ekonomi menjadi transaksional, instan, dan impersonal.

Dulunya, ada biaya untuk menegosiasikan kontrak, memahami spesifikasi produk, melakukan pembayaran, dll. Kini: Dengan smart contract, blockchain, instant payment systems, dan digital platforms, banyak biaya ini menyusut drastis.

Dahulunya, sang pemikir besar, Nobel Laureate Ronald Coase, menyatakan bahwa perusahaan eksis untuk menghindari biaya transaksi pasar. Kini, saat biaya itu mendekati nol, mengapa perusahaan besar masih eksis? Bukankah banyak hal bisa kita lakukan sendiri sekarang, bahkan dari rumah dengan minim interaksi. "Masih banyak biaya lainnya yang kini menguap dalam diam, tak sempat tercatat, tapi mengubah segalanya."

Di dunia lama, bisnis adalah aktivitas strategis. Ada kalkulasi, masa depan, pertimbangan konteks. Di dunia baru bisnis lebih menjadi respon impulsif. "Lihat tren, lalu subscribe hal terkait, masuk market, tes pasar, kalau berhasil lanjut dan ATM (amati, tiru, modifikasi), lalu kalau gagal ya keluar. Dalam Kondisi ini, ekonomi berubah dari bangunan menjadi platform. Dari proses bertumbuh menjadi eksperimen berjaringan.

Hasilnya, kebijakan fiskal kehilangan daya dorong. Menjaring pendapatan pajak dan cukai untuk negara butuh seni dan cara baru di tengah dunia tanpa biaya tetap ini, karena wajib pajak jadi berubah terlalu cepat.

Karena multiplier effect berlangsung hanya dalam hitungan minggu. Perusahaan hanya buka lowongan saat tren naik, lalu berhenti. Belum sempat omset naik dan menjadi pembayar pajak, perusahaannya sudah kadung berubah dan tutup.

Kebijakan moneter kehilangan kekuatan dalam mengalirkan uang ke bawah, karena pemberian kredit makin sulit, karena ketiadaan fondasi dari si peminjam modern. Suku bunga berubah hari ini, likuiditas global keluar hari itu juga.

Tidak ada lagi friksi modal. Tidak ada buffer psikologis. Pemerintah semakin kesulitan berperan sebagai arsitek jangka panjang, karena berhadapan dengan volatilitas ini. Karena aktor ekonomi tak hidup dalam horizon jangka panjang, lalu kenapa aku harus?

Apa Yang Tersisa Dari Kita
Barangkali Dunia Masih Membutuhkan Biaya Tetap dan ia bukan sekedar angka dalam laporan keuangan. Ia adalah komitmen, akar, dan harga yang harus dibayar untuk menjadi nyata.

Dalam dunia bisnis, dia menahan kita agar tak terus berpindah. Dalam ekonomi makro, ia memberi waktu bagi kebijakan untuk bekerja dan memberi ruang nafas. Namun lebih dari itu, fixed cost membentuk kita sebagai manusia.

Bangsa tidak lahir dari transaksi. Ia lahir dari memori dan keputusan kolektif untuk membangun, bertahan, dan menyusun sistem bersama, meski mahal, meski lambat. Infrastruktur, pertahanan, ketahanan pangan, ketahanan energi, kebijakan sosial, upacara bendera serta hal-hal seremonial lainnya dan bahkan sistem perpajakan, semuanya adalah bentuk fixed cost peradaban.

Bangsa harus mengedepankan dignity untuk membangun peradaban. Dalam pembukaan UUD 1945, dikatakan bahwa tujuan berbangsa kita adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia. Semua itu adalah fixed cost dan fondasi. Keberadaannyalah yang memberi makna.

Keluarga tidak dibangun dari efisiensi. Ia dibangun dari tanggung jawab yang tak bisa dihitung: mengasuh anak, merawat orang tua, membesarkan generasi, semuanya adalah biaya tetap yang tak menghasilkan margin, tapi menghasilkan manusia.

Individu tidak tumbuh dari fleksibilitas semata. Kita menjadi manusia karena memilih akar, memilih tempat tinggal, profesi, keyakinan, dan bertahan di dalamnya, meski ada opsi untuk kabur. Tanpa fixed cost, kita menjadi ringan. Tapi juga kehilangan bentuk.

Maka mungkin, yang kita perlukan hari ini bukan sekadar efisiensi dan kecepatan, tapi pondasi-pondasi baru yang bisa kita tanami dengan waktu, identitas, dan cinta. Karena ekonomi bisa bergerak tanpa fixed cost. Tapi kehidupan, tak akan pernah bisa.

Dan arah kehidupan ini tidak bisa kita dapatkan dari kebebasan penuh. Ia muncul dari batas yang kita pilih untuk dihormati dan dari beban yang kita peluk, bukan kita hindari.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |