Diplomasi Impor Migas Indonesia: "Sein Kanan Belok Kiri?"

7 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Belum terlalu lama, Pemerintah Indonesia menyuarakan rencana akan meningkatkan impor minyak dan gas bumi (migas) dari Amerika Serikat hingga mencapai 40% dari total impor migas. Rencana tersebut dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menaikkan tarif bea masuk dari berbagai negara termasuk impor dari Indonesia.

Kebijakan resiprokal dalam hubungan internasional sesungguhnya adalah langkah yang lumrah dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain guna melindungi kepentingan negaranya masing-masing. Rencana impor migas dari AS sebanyak itu didalilkan oleh pemerintah guna melindungi ekspor barang Indonesia ke AS. Impor migas dari Amerika itu dijadikan bargaining untuk meminta AS agar melakukan koreksi pemberlakukan tarif bea masuk impor barang dari Indonesia.

Menurut informasi yang dirilis pejabat-pejabat Indonesia di berbagai media massa, AS memasang tarif tertinggi sebesar 32% untuk impor barang dari Indonesia, namun menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagaimana dberitakan oleh Detik Finance 19 April 2025 lalu, bila dihitung-hitung ternyata bahkan bisa mencapai 47%. Hal itu jelas akan mengakibatkan barang Indonesia menjadi tidak kompetitif di AS, sulit bersaing dan ujungnya bisa mematikan ekspor.

Hanya selang dua bulan dari kehebohan soal tarif impor ala Trump yang direspons dengan rencana impor masif migas dari AS, ternyata beberapa hari belakangan ini Presiden Prabowo Subianto malah berkunjung ke Rusia dan tidak menghadiri undangan G7. Yang mengagetkan dari pemberitaan kunjungan tersebut adalah santernya berita bahwa Indonesia akan mengimpor migas dari Russia.

Sebelum membahas hal tersebut ada baiknya kita tengok kembali pemberitaan seputar masalah impor migas ini pada kuartal pertama tahun ini. Pada tanggal 23 April 2025 lalu CNBC Indonesia memberitakan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan realisasi impor migas selama Januari-Maret 2025 mencapai US$ 9 miliar atau sekitar Rp 145,8 triliun (asumsi kurs Rp 16.200 per US$), naik 8,13% dibandingkan periode yang sama pada 2024 yang sebesar US$ 8,33 miliar.

Impor migas pada kuartal I 2025 tersebut terdiri atas:

- minyak mentah sebesar US$ 2,4 miliar
- minyak olahan sebesar US$ 6,6 miliar.

Khusus untuk Maret 2025, impor migas RI tercatat sebesar US$ 3,33 miliar, naik 11,64% dibandingkan Februari 2025 yang sebesar US$ 2,98 miliar. Nilai impor minyak mentah RI selama periode Januari-Februari 2025 mencapai US$ 1,5 miliar atau Rp 25,5 triliun, dengan volume 2,6 juta ton.

Berdasarkan data BPS, impor minyak mentah RI mayoritas berasal dari Arab Saudi, Angola, Nigeria, Amerika Serikat, Australia, dan negara lainnya.

Data impor minyak mentah RI hingga Februari 2025:

1. Arab Saudi sebesar 735 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 439 juta.
2. Angola sebesar 618,3 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 350 juta.
3. Nigeria sebesar 503 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 296 juta.
4. Amerika Serikat sebesar 214 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 139 juta.
5. Australia sebesar153 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 102 juta.
6. Lainnya sebesar 413 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 243 juta.

Sementara untuk impor Solar atau HSD pada periode Januari-Februari 2025 secara volume mencapai 1,2 juta ton dengan nilai mencapai US$ 939,1 juta. Adapun mayoritas HSD diimpor dari Singapura, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan lainnya.

Dari data ini didapatkan bahwa impor migas Indonesia dari negara-negara Arab Saudi, Angola dan Nigeria nilainya sangat signifikan, namun dalam perspektif diplomasi dan hubungan luar negeri hal ini memang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar.

Sebab besarnya nilai perdagangan ini secara resiprokal dianggap tidak membawa dampak timbal balik ekonomi yang cukup berarti bagi Indonesia, baik dari sisi investasi, perdagangan antarnegara, maupun dalam soal-soal non ekonomi misalnya soal politik luar negeri.

Rencana impor migas Indonesia dari Rusia secara ekonomi maupun politik lebih beralasan ketimbang impor dari Arab Saudi, Angola maupun Nigeria terutama bila terjadi resiprokal ekonomi berupa masuknya investasi-investasi Rusia ke Indonesia.

Hanya saja bila ini terjadi, bagaimana akibatnya dengan sikap AS terhadap Indonesia? Kemudian bagaimana dampaknya dengan negosiasi Indonesia ke AS untuk menurunkan tarif?

Diketahui Rusia mengalami surplus suplai minyak dan gas buminya sejak diembargo oleh AS dan Eropa karena perang Ukraina. Pada saat awal perang Ukraina diperkirakan suplai minyak Rusia ke pasar dunia sebesar 3 juta barrel per hari yang pasti terganggu dengan adanya sanksi dari AS dan Eropa terhadap Rusia sehingga perlu dicarikan pasar ke negara-negara lain.

Menurut Pertamina sesungguhnya Indonesia pernah mengimpor minyak dari Russia secara spot pada tahun 2024 melalui tender, namun bisa dipastikan volumenya kecil dibanding impor dari negara-negara Arab Saudi, Angola dan Nigeria serta Amerika Serikat.

Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS sangat wajar bila dipahami akan mengakibatkan peningkatan kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara-negara anggota BRICS khususnya dengan Rusia.

Kerja sama dalam hal perdagangan migas adalah salah satu potensinya apalagi beberapa hari ini kondisi Timur Tengah sangat panas akibat perang Israel vs Iran yang diperburuk dengan serangan AS ke Iran. Bagaimana bila perang ini berlanjut dan lebih besar? Bagaimana bila Selat Hormuz ditutup?

Sebagaimana diketahui perang selama ini selalu dianggap sebagai salah satu pemicu kenaikan harga migas dunia. Kondisi perang jelas akan menjadi beban ekonomi baru bagi negara-negara net importer migas seperti Indonesia, maka untuk itu diplomasi dengan negara-negara exporter minyak sangatlah penting guna menjaga kebutuhan energi migas.

Memang banyak faktor yang harus dipertimbangkan ketika akan mengalihkan impor migas dari satu negara ke negara lain. Bukan cuma soal harga, pasokan, kualitas, jarak dan hal-hal teknis, tetapi hubungan luar negeri itu selalu resiprokal.

Maka sekalipun politik luar negeri Indonesia itu bebas aktif, namun dalam diplomasi impor migas untuk ketahanan energi jangan heran bila bisa bergaya diplomasi seperti emak-emak naik motor "Sein Kanan, Belok Kiri"


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |