Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas global kini makin tidak stabil. Harga yang naik tajam lalu anjlok dalam waktu singkat membuat para pelaku industri, investor, hingga pemerintah kelimpungan.
Contoh paling nyata terlihat pada harga minyak dunia. Dalam serial drama "Landman", tokoh fiksi pekerja migas Tommy Norris yang diperankan oleh Billy Bob Thornton menyebut harga ideal minyak adalah US$78 per barel. Di angka tersebut, produsen bisa meraih untung wajar, tetap berinvestasi untuk eksplorasi, dan konsumen masih bisa membeli tanpa terbebani.
Namun saat ini, harga minyak mentah Brent justru tertekan di kisaran US$65 per barel. Selain terlalu rendah, harganya juga terlalu fluktuatif.
Gangguan pada harga minyak, kali ini dipicu oleh perang. Meskipun minyak telah lama menjadi produk yang sulit dikendalikan, riset terbaru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir kondisinya menjadi jauh lebih buruk. Siklus naik-turun harga saat ini lebih pendek dan lebih ekstrem dibanding masa lalu.
Dulu, pemicu utama siklus komoditas berasal dari sisi pasokan. Sesuatu harus ditambang dari bumi atau ditanam dari nol. Ini memerlukan waktu panjang dan modal besar.
Pada kenyataannya, butuh waktu 10 hingga 20 tahun dari penemuan hingga produksi. Karena itu, pasokan sulit merespons sinyal harga, yang menyebabkan investasi berlebihan saat boom dan kelebihan pasokan saat krisis, demikian dikutip dari laporan The Economist, Sabtu (28/6/2025).
Dinamika persediaan juga memperparah siklus harga komoditas. Dalam banyak kasus, barang tersebut sulit disimpan atau mudah rusak, seperti komoditas pertanian.
Cadangan yang tipis membuat ketidakseimbangan jangka pendek antara permintaan dan penawaran bisa menyebabkan lonjakan harga besar. Spekulasi finansial turut memperkuat sentimen pasar. Secara umum, permintaan terhadap komoditas sangat terikat pada siklus bisnis global. Dan selalu ada potensi pecahnya perang baru.
Riset Bank Dunia menemukan bahwa fluktuasi harga ini kini makin sering terjadi. Siklus boom kini hanya berlangsung 24 bulan, sedangkan masa krisis 23 bulan. Ini jauh lebih singkat dibanding periode 1970-2020, di mana satu siklus puncak ke puncak butuh waktu rata-rata 90 bulan. Kini, hanya sekitar 45 bulan.
Kejadian ini memiliki dampak besar bagi pemerintah di seluruh dunia. Menurut Bank Dunia, dua pertiga dari negara berkembang sangat bergantung pada komoditas untuk ekspor, pendapatan fiskal, dan aktivitas ekonomi mereka.
Siklus harga yang lebih tidak stabil menjadi tantangan berat bagi para pembuat kebijakan di negara-negara tersebut, dan menurunkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang solid.
Ini juga menjadi tantangan bagi bank sentral di negara maju. Secara historis, mereka cenderung mengabaikan pergerakan harga berbasis komoditas dan fokus pada inflasi inti yang mengecualikan energi dan pangan.
Mengingat bahwa dalam periode 1970-2020 harga biasanya naik dan turun dalam proporsi yang serupa, pendekatan itu masuk akal. Tapi jika kini lonjakan harga lebih besar dibanding penurunannya, seperti yang tampak sekarang, situasinya jadi jauh lebih rumit.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Warning Asing Soal Ekonomi RI 2025, Harap Waspada!