Bank Dunia: 68,3% Penduduk RI Kategori Miskin, Setara 194,7 Juta Jiwa

18 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank telah menaikkan garis kemiskinan dunia, mempertimbangkan adopsi ukuran purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli terbaru, yakni 2021 PPP dari sebelumnya 2017 PPP. Implikasinya, tingkat kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia ikut naik.

Dalam dokumen bertajuk "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)" Bank Dunia merevisi ke atas tiga lini garis kemiskinan setelah mengadopsi 2021 PPP, yang telah dipublikasikan Bank Dunia dalam The International Comparison Program (ICP) edisi Mei 2025.

PPP itu sendiri merupakan metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dolar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini di pasar keuangan, melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03, berdasarkan penjelasan Badan Pusat Statistik (BPS).

"Penerapan PPP tahun 2021 juga menyiratkan revisi terhadap garis kemiskinan global," dikutip dari dokumen pembaruan Poverty and Inequality Platform (PIP) edisi Juni 2025.

Tiga garis kemiskinan global yang telah direvisi bank dunia mempertimbangkan 2021 PPP itu ialah dari US$2,15 menjadi US$3,00 untuk garis kemiskinan internasional atau yang biasanya menjadi ukuran tingkat kemiskinan ekstrem.

Sementara itu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah dari US$3,65 menjadi US$4,20, dan ukuran untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, seperti Indonesia di dalamnya, dari semula sebesar US$ 6,85 2017 PPP menjadi US$ 8,30 2021 PPP.

Dengan ukuran garis kemiskinan terbaru itu, melalui data di dalam https://pip.worldbank.org/country-profiles/IDN, Bank Dunia mencatat bahwa tingkat kemiskinan Indonesia yang masuk kategori negara berpendapatan tinggi ialah sebesar 68,3% dari total jumlah penduduk pada 2024 sebanyak 285,1 juta jiwa. Dengan begitu jumlahnya menjadi 194,72 juta jiwa.

Jumlah penduduk miskin itu tentu naik bila dibandingkan dengan penggunaan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas sebelumnya yang sebesar US$ 6,85 2017 PPP. Dengan ukuran itu, tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 60,3% dari total penduduk pada 2024 atau setara 171,91 juta jiwa.

Meski begitu, BPS menekankan, dalam siaran pers terdahulunya soal tingkat kemiskinan versi Bank Dunia melalui melalui Macro Poverty Outlook edisi April 2024, ukuran kemiskinan Bank Dunia itu belum bisa sepenuhnya diadopsi Indonesia.

Terutama karena walaupun Indonesia saat ini berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$4.870 pada 2023, namun posisi Indonesia itu baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara US$4.516- US$14.005.

"Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi," kata BPS dalam siaran pers tertanggal 2 Mei 2025.

Menurut BPS, Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun.

Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan. Namun, perlu diperhatikan, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan.

Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda. Sebagai contoh, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Bak Langit & Bumi Beda Kemiskinan RI Versi BPS & Bank Dunia

Next Article Bank Dunia Proyeksi Ekonomi RI Tahun Ini Hanya Tumbuh 4,7%

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |