Aneh Tapi Nyata! 5 Negara Ini Pusing Karena Mata Uangnya Terlalu Kuat

4 hours ago 2

Jakarta,CNBC Indonesia - Sejumlah mata uang utama dunia menguat signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun, penguatan tajam ini justru membuat pusing.

Salah satu mata uang yang mengalami apresiasi tajam adalah euro, mata uang tunggal kawasan Uni Eropa. Sejak awal 2025, euro telah menguat sekitar 12,08% terhadap dolar AS, hal ini mencerminkan optimisme terhadap pemulihan ekonomi di kawasan tersebut serta ekspektasi kebijakan moneter yang lebih ketat dari Bank Sentral Eropa (ECB).

Dari kawasan Asia, dolar Taiwan (TWD) juga mencatatkan performa impresif. Pada perdagangan Jumat (4/7/2025), TWD menembus level terkuat dalam tiga tahun terakhir di posisi TWD 28,901 per US$1. Secara year-to-date, mata uang ini telah menguat sekitar 11% terhadap dolar AS, didorong oleh lonjakan ekspor teknologi dan permintaan chip global.

Selain Taiwan, ada beberapa negara asal Eropa yang juga tengah mengalami penguatan mata uangnya terhadap dolar AS.

Ceko misalnya, mata uang Koruna Ceko sejak awal tahun sampai hari ini telah mengalami penguatan sebesar 13,83%, koruna dibuka pada awal tahun di level CZK 32,899/US$1 dan saat ini sedang berada di level CZK 29,211/US$.

Kemudian Swedia juga mengalami hal yang sama, mata uang krona Swedia pada awal tahun berada di level SEK 11,15/US$1 dan saat ini berada di level SEK 9,51/US$ atau menguat sebesar 14,57%.

Serta franc Swiss yang juga mengalami penguatan besar terhadap dolar AS, sejak awal 2025 franc menguat 12,58% terhadap dolar AS, menjadikannya salah satu mata uang dengan kinerja terbaik tahun ini.

Penguatan mata uang ini menandakan kepercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi dan prospek negara-negara tersebut.

Namun, di sisi lain, hal ini juga berpotensi mempersulit kinerja ekspor, meningkatkan tekanan terhadap sektor industri, dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan ekspor.

Sektor Manufaktur, Kesehatan, dan Otomotif Eropa dibuat Pusing

Eropa misalnya, dari sektor manufaktur saat ini sedang berjuang untuk menyesuaikan dengan kenaikan mata uang euro ini.

Selain itu perusahaan di Eropa juga tengah menunggu kesepakatan untuk menghindari tarif yang jauh lebih tinggi atas ekspor Uni Eropa ke AS, gabungan dua isu ini membuat produk asal Eropa membuat produk mereka jadi kurang menarik bagi konsumen di Amerika Serikat.

Menurut Ekonom Gian Maria Milesi Ferretti, berpendapat bahwa kombinasi kekuatan mata uang euro dan tarif baru dari Presiden AS Donald Trump akan sangat menyakitkan bagi eksportir Eropa.

"Dolar AS kemungkinan besar akan naik dan produk-produk Eropa akan kehilangan Sebagian pangsa pasar di AS," Ujar Milesi Ferretti dikutip dari DW.

Ferretti menambahkan "mesin-mesin dari Jerman misalnya, yang digunakan untuk memproduksi barang-barang, namun jika mesin-mesin tersebut menjadi lebih mahal, maka barang-barang yang mereka hasilkan pun akan lebih mahal.

Tahun 2024, Uni Eropa tercatat melakukan ekspor barang ke AS senilai hampir €532 miliar atau sekitar Rp10.118,3 triliun (Kurs Rp19.025/€1), angka ini naik 5,5% dibandingkan tahun 2023, menurut Eurostat, Badan Statistik Uni Eropa.

Produk farmasi menyumbang porsi ekspor terbesar, dengan lebih dari seperlima obat-obatan asal Uni Eropa dikirim ke AS, diikuti oleh otomotif, mesin industri, dan industri penerbangan.

Uni Eropa secara keseluruhan mengekspor sekitar 750.000 kendaraan per tahun ke AS, jumlah ni mencakup 14% dari total volume produksi industri otomotif di Uni Eropa, dan 24% dari segi nilai ekspor. Bagi perusahaan seperti Volkswagen dan Mercedes-Benz, tarif dan kekhawatiran mata uang merupakan kekhawatiran utama.

Disisi lain, Airbus mengirimkan sekitar 12% pesawatnya ke AS, kita ambil contoh harga Airbus A320neo yang dibanderol sekitar US$110 juta atau setara €93,6 juta, berpotensi terjadi kenaikan sekitar US$10 juta per unit karena apresiasi mata uang euro. Hal ini bisa membuat produk A320neo ini menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan pesaingnya yakni Boeing 737 Max.

Taiwan Turut Tertekan Karena Penguatan Mata Uangnya

Penguatan mata uang lokal membuat barang-barang buatan Taiwan jadi lebih mahal bagi pembeli internasional. Terutama penting bagi produk berorientasi harga, seperti komponen elektronik yang bersaing ketat dengan produk dari Korea Selatan,China, dan Jepang.

Banyak eksportir menerima pembayaran dalam USD atau EUR sehingga ketika dikonversi ke TWD, nilai tukar yang lebih kuat membuat pendapatan domestik (TWD) mereka turun. Perusahaan pun perlu melakukan efisiensi atau menaikkan harga, yang bisa mengurangi pesanan.

Dampak lainnya, pembeli asing mungkin mengalihkan pesanan ke negara dengan mata uang lebih lemah (lebih kompetitif) sehingga bisa menyebabkan penurunan volume ekspor, terutama ke pasar AS, Eropa, dan ASEAN.

Hal ini disebabkan karena sebagian besar penjualan produk semikonduktor dilakukan dalam denominasi dolar Amerika Serikat (AS).

Dengan kurs dolar Taiwan yang lebih kuat, pendapatan dalam dolar akan dikonversi menjadi lebih kecil dalam mata uang lokal, sehingga mengurangi margin keuntungan perusahaan. Selain itu, harga produk mereka juga menjadi relatif lebih mahal dibanding pesaing global, sehingga daya saing mereka di pasar internasional berpotensi melemah.

Hal ini terjadi di saat Taiwan baru saja mencetak rekor nilai ekspor tertinggi mereka. Berdasarkan data ekonomi terbaru, Taiwan Menunjukkan lonjakan ekspor yang cukup signifikan mencapai US$154 miliar pada kuartal kedua 2025, sementara bila ditotal selama semester I 2025, Taiwan mencatatkan nilai ekspor sebesar US$440.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |