Jakarta -
Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa mantan sekretaris pribadi (Sekpri) Mendikbudristek Nadiem Makarim berinisial (DAS) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun. DAS diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar menyebut pemeriksaan terhadap Sekpri Nadiem itu dilakukan pada Selasa (8/7) kemarin. Selain DAS, ada enam saksi lain yang diperiksa terkait perkara itu, salah satunya Konsultan Perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah pada Kemendikbudristek, Ibrahim Arief (IA).
"Kejagung melalui tim penyidik Jampidsus memeriksa tujuh orang saksi, terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada Kemendikbudristek dalam Program Digitalisasi Pendidikan," kata Harli melalui keterangannya, Rabu (9/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Harli belum menjelaskan dengan rinci materi pemeriksaan terhadap keenam saksi. Dia hanya menyebut, pemeriksaan dilakukan untuk memperkuat pembuktian serta melengkapi berkas perkara.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud," terangnya.
Sejatinya, Kejagung juga mengagendakan Nadiem Makarim diperiksa kemarin. Namun, Nadiem tidak hadir memenuhi panggilan.
Dia melalui kuasa hukumnya, Hotman Paris, meminta pemeriksaan tersebut ditunda menjadi pekan depan. Tetapi Hotman tak menjelaskan alasan Nadiem meminta penundaan pemeriksaan kemarin.
"Ditunda satu minggu," kata Hotman kepada wartawan, Selasa (8/7/2025).
Dugaan Korupsi Pengadaan Laptop
Sebagai informasi, Kejagung tengah mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan laptop untuk digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019-2022. Proyek itu menggunakan anggaran negara yang cukup besar, senilai Rp 9,9 triliun.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menyebut pada 2020 Kemendikbudristek menyusun rencana untuk pengadaan bantuan peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi satuan pendidikan, mulai tingkat dasar hingga menengah atas.
Padahal rencana tersebut bukan menjadi kebutuhan siswa pada saat itu. Sebab, hal serupa ternyata sudah pernah dilakukan pada 2018-2019, tapi hasilnya tak efektif.
"Karena sesungguhnya, kalau tidak salah, di tahun 2019 sudah dilakukan uji coba terhadap penerapan Chromebook itu terhadap 1.000 unit, itu tidak efektif," kata Harli kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (26/5).
Setelah itu diduga ada persekongkolan atau pemufakatan jahat dari berbagai pihak. Sebab, penggantian spesifikasi tersebut diduga bukan berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya.
"Sehingga diduga bahwa ada persekongkolan di situ. Karena di tahun-tahun sebelumnya sudah dilakukan uji coba karena sesungguhnya penggunaan Chromebook itu kurang tepat," jelas Harli.
Kemendikbudristek malah menyusun tim teknis baru. Tim diarahkan membuat kajian teknis terkait penggunaan laptop dengan operating system Chromebook dalam proses pengadaan barang/jasa, dan bukan atas dasar kebutuhan ketersediaan peralatan TIK yang akan digunakan dalam kegiatan belajar mengajar.
"Supaya apa? Supaya diarahkan pada penggunaan laptop yang berbasis pada operating system Chromebook," terangnya.
Belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Kejagung juga masih menghitung kerugian negaranya.
(ond/zap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini